Qiradh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sudah cukup
lama umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia menginginkan
perekonomian yang berbasis nilai-nalai dan prinsip syari’ah untuk dapat
diterapkan dalam segenap aspek kehidupan. Di zaman sekarang kita hanya
menerapkan Islam hanya dalam ibadah saja, tetapi terkadang dalam dunia
perekonomian kita tidak memperhatikan nilai-nilai Islam tersebut, sehingga
seringnya merugikan orang lain, dengan tidak memberikan hak-hak yang orang
lain, seperti bagi hasil yang tidak merata, sehingga ada salah satu pihak
menjadi terzholimi. Oleh karena itu kami akan membahas salah satu akad atau
cara bagi hasil sesuai yang telah dijelaskan pada Al-quran dan
Hadits, yaitu “Qiradh ataumudharabah.[1]”
Qiradh atau
Mudharabah ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal
tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai
dengan keputusan. Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya
dibolehkan (mubah) berdasarkan Al-quran, sunah, dan ijma’.
Dalam
pelaksanaan qiradh kita harus sesuai denga rukun dan syarat qiradh itu sendiri,
qiradh pun dapat diterapkan di perbankan, dan qiradh juga mempunyai manfaat dan
risiko dalam menjalankannya.
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini kami membahas
tentang
1.
Pengertian Qiradh
2.
Kandungan hukum qiradh.
3.
Hadist tentang qiradh
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qiradh
Qiradh atau Mudharabah termasuk salah satu bentuk akad syirkah
(perkongsian). Istilah mudharabah digunakan oleh orang irak, sedangkan orang
Hijaz menyebutnya dengan istilah Qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh
adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa, Qiradh diambil dari kata al-qardhu yang
berarti al-qathu(potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari
hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan
pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil
dari katamuqaradhah yang berarti al-musawatu (kesamaan),
sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba[2].
Beberapa Istilah Qiradh atau Mudharabah menurut para ulama adalah sebagai
berikut :
1.
Menurut para fuqaha, mudharabah
ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak
menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan atau bagian
yang ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan.
2.
Menurut Hanafiyah, Qiradh atau Mudharabah adalah
memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan
(laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa
mengelola harta itu.
3.
Malikiyah berpendapat bahwa Mudharabah ialah
“Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain
untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditetntukan (emas dan perak)”.
4.
Imam Hanabilah berpendapat
bahwa mudharabah ialah “Ibarat pemilik harta yang menyerahkan
hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari
keuntungan yang diketahui”.
5.
Ulama Salafiyah berpendapat
bahwa qiradh adalah “Akad yang menetukan seseorang menyerahkan
hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan”.
6.
Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan
Umairah berpendapat bahwa mudharabahadalah “seseorang menyerahkan
harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama”.
7.
Al-Bakri Ibn al-Arif Billah
al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwamudharabah ialah
“Seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan didalamnya diterima
penggantian”.
8.
Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah
akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang
untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai perjanjian.
9.
Menurut Imam Taqiyyudin, mudharabah ialah
“Akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan”.
Jadi Qiradh atau mudaharabah adalah
akad antara pemilik modal dengan pengelola dengan syarat bahwa keuntungan
diperoleh dua belah pihak sesuai kesepakatan. Apabila rugi, hal itu ditanggung
oleh pemilik modal. Modal dapat berupa barang yang tidak dibayarkan, seperti
rumah dan.
B.
Hadist
Qiradh
Artinya:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana
yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat. (QS.Al Baqarah: 198)
C. Asbabul Nuzul
surat Al Baqarah Ayat 198
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Ukadz, Majinnah,
dan Dzulmajaz adalah pasar pada masa Jahiliyah. Mereka merasa berdosa untuk
berdagang pada musim haji. Maka turunlah ayat: laisa ‘alaikum junaahun an
tabtaghuu fadl-lam mir rabbikum (“Dan tidak ada dosa bagimu untuk mencari
karunia [rizki hasil perniagaan] dari Rabb-mu.”) Yaitu dalam musim haji[3].
Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, Said bin Manshur dan
yang lainnya, dari Sufyan bin `Uyainah.
Dan Abu Dawud dan yang lainnya juga meriwayatkan dari Yazid bin Abu
Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Mereka sangat takut untuk
berjual beli dan berdagang pada musim haji, mereka mengatakan bahwa musim haji
adalah hari-hari untuk berdzikir. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat: laisa
‘alaikum junaahun an tabtaghuu fadl-lam mir rabbikum (“Dan tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia [rizki hasil perniagaan] dari Rabb-mu.”)
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abu Umamah at-Taimi, ia menceritakan,
pernah kukatakan kepada Ibnu Umar, “Sungguh, kami ini penjual jasa, apakah kami
termasuk orang yang berhaji?” Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kalian melakukan
thawaf di Baitullah, datang ke Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambut
kalian?” “Benar,” jawab kami. Lebih lanjut Ibnu Umar berkata, “Ada seseorang
datang kepada Nabi, lalu ia menanyakan sesuatu yang engkau tanyakan kepadaku,
dan beliau tidak menjawabnya sehingga turun Jibril kepada beliau dengan membawa
ayat ini: laisa ‘alaikum junaahun an tabtaghuu fadl-lam mir rabbikum (“Dan
tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia [rizki hasil perniagaan] dari
Rabb-mu.”) Kemudian Nabi memanggilnya seraya bersabda, ‘Ya, kalian boleh
menunaikan ibadah haji.’”
Dan firman-Nya: fa idzaa afadl-tum min ‘arafaatin fadzkurullaaHa ‘indal
masy’aril haraam (“Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah
kepada Allah di Masyaril-haram.”) haram. “Ditashrifkannya kata Arafaat meskipun menjadi
sebutan nama untuk jenis muannats (perempuan), karena pada dasarnya kata itu
merupakan jamak, seperti misalnya, muslimaat dan mukminaat, dijadikan nama
untuk tempat tertentu, karena itu ditimbang menurut aslinya maka-ditashrifkan.
Demikian yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.
Arafah adalah tempat wuquf dalam menunaikan ibadah haji. Dan wuquf itu
sendiri merupakan amalan utama dalam ibadah haji. Oleh karena itu diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Para penyusun kitab as-Sunan dengan isnad shahih, dari
Abdur Rahman bin Ya’mar ad-Daili, katanya, aku pernah mendengar Rasulullah
bersabda: “Haji itu Arafah (beliau mengucapkannya tiga kali). Barangsiapa
sempat wukuf di Arafah sebelum terbit fajar, maka sesungguhnya ia telah
mendapatkan haji. Dan menetap di Mina tiga hari. Barangsiapa yang terburu-buru
sehingga hanya menetap dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang
mengakhirkannya, maka tiada dosa pula baginya.” (HR. Ahmad)
Waktu wuquf berawal dari sejak tergelincirnya matahari pada hari Arafah
(Yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) sampai terbit fajar pada hari kedua yaitu hari
penyembelihan kurban, karena Nabi berwukuf pada haji wada’ setelah shalat
Dzuhur sampai terbenamnya matahari seraya bersabda: “Hendaklah kalian mencontoh
manasik dariku.”
Dan dalam hadits tersebut, Rasulullah juga bersabda: “Barangsiapa sempat
wuquf di Arafah sebelum terbit fajar, maka ia telah mendapatkan haji.”
Yang demikian itu merupakan pendapat Malik, Abu Hanifah, dan asy-Syafi’i
rahimahumullah. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu wuquf itu berawal
dari sejak hari pertama Arafah, berlandaskan pada hadits asy-Sya’abi, dari
Urwah bin Mudharas bin Haritsah bin Laam ath-Tha’i, ia menceritakan, aku pernah
mendatangi Rasulullah di Muzdalifah ketika beliau berangkat shalat, lalu aku
berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku datang dari gunung Tha’i, unta
kendaraanku benar-benar telah letih dan dariku pun juga sudah merasa kepayahan.
Demi Allah, aku tidak meninggalkan gunung, melainkan aku telah berwukuf
padanya, apakah hajiku itu sah?” Maka Rasulullah pun menjawab, “Barangsiapa
yang mengikuti shalat kami, lalu ia berwuquf bersama kami sehingga kami pergi,
dan sebelum itu ia sudah mengerjakan wuquf di Arafah pada malam atau siang
hari, maka ia telah menyempurnakan hajinya dan menyelesaikan hajatnya.”
Hadits riwayat Imam Ahmad dan para penulis kitab as-Sunan, dan
dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Dan gunung yang berada di tengah-tengah Arafah
itu disebut Jabal Rahmah.
Ibnu Juraij meriwayatkan, dari Miswar bin Makhramah katanya, Rasulullah
pernah berkhutbah kepada kami, ketika itu beliau berada di Arafah. Beliau
memulai dengan pujian kepada Allah, kemudian bersabda: “Amma Ba’du [jika
berkhutbah beliau biasa mengucapkan amma ba’du] sesungguhnya hari ini adalah
haji akbar (besar). Ketahuilah bahwa orang orang musyrik dan para penyembah
berhala pergi beranjak pada hari ini sebelum matahari terbenam, jika matahari
berada di atas puncak gunung, seolah-olah ia merupakan serban (ikat kepala)
orang laki-laki pada wajah gunung itu. Sedangkan kita pergi setelah matahari
terbenam. Mereka bertolak dari Masy’arilharam setelah matahari terbit, jika
matahari berada di atas gunung, seolah-olah ia merupakan serban laki-laki pada
wajahnya. Sedangkan kita bertolak sebelum matahari terbit, tata cara ibadah
kita berbeda dengan tata cara ibadah orang-orang musyrik.”
Demikian diriwayatkan Ibnu Mardawaih dengan lafadz di atas. Juga
diriwayatkan al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Ibnu Juraij. Al-Hakim
mengatakan, hadits ini shahih menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim, meskipun
keduanya tidak meriwayatkannya.
Dan dalam hadits Jabir bin Abdullah yang cukup panjang yang terdapat
dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan: Rasulullah masih terus wuquf di Arafah
sehingga matahari terbenam dan warna langit mulai menguning sedikit hingga
bulatan matahari pun terbenam. Dan beliau membonceng Usamah bin Zaid di
belakangnya. Lalu Rasulullah bertolak dan menarik tali kekang Qaswa’ (nama unta
beliau) sampai kepalanya nyaris mengenai pelananya. Dan beliau memberi aba-aba
dengan tangan kanannya seraya bersabda, “Wahai sekalian manusia, tenanglah…
tenanglah.” Setiap kali beliau melewati gunung, beliau mengendurkan tali
kekangnya supaya untanya itu dapat naik hingga beliau sampai di Muzdalifah. Dan
di sana beliau mengerjakan shalat Maghrib dan Isya’ (jama’) dengan satu adzan
dan dua iqamah. Beliau bertasbih sejenak di antara kedua shalat itu. Kemudian
beliau tidur hingga terbit fajar, lalu beliau pun shalat Subuh ketika tampak
fajar Subuh dengan adzan dan iqamah.
Setelah itu beliau menaiki Qaswa’ kembali hingga sampai di
Masy’arilharam, lalu beliau menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah seraya
bertakbir, bertahlil, dan mentauhidkan-Nya. Beliau masih terus berdiam diri
hingga langit benar-benar menguning, lalu beliau pergi sebelum matahari terbit.
Dan dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Usamah bin
Zaid, ia pernah ditanya bagaimana Rasulullah berjalan ketika beliau beranjak
pergi? Ia menjawab, “Beliau berjalan pelan, jika menemukan tanah lapang, beliau
berjalan lebih cepat.”
Abu Ishak as-Subai’i meriwayatkan, dari Amr bin Maimun, ia menceritakan,
aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar mengenai Masy’aril-haram, tetapi
ia diam saja hingga ketika kendaraan kami turun ke Muzdalifah ia berujar, “Mana
orang yang bertanya mengenai Masy’arilharam tadi? Inilah Masy’arilharam itu.”
Abdur Razak menceritakan, Ibnu Umar berkata: “Masy’arilharam itu adalah
Muzdalifah secara keseluruhan.”
Hisyam meriwayatkan, dari Ibnu Umar, bahwa ketika ditanya mengenai firman
Allah: fadzkurullaaHa ‘indal masy’aril haraam (“Berdzikirlah kepada Allah di
Masyaril-haram.”) maka ia menjawab: “Masy’arilharam adalah gunung ini dan
sekitarnya.”
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Mujahid,
as-Suddi, Rabi’ bin Anas, Hasan al-Bashri, dan Qatadah. Mereka semua
mengatakan, “Masy arilharam itu terletak di antara dua gunung.”
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis (Ibnu Katsir) katakan,
al-masya’ir berarti tanda-tanda yang jelas. Muzdalifah disebut Masy’arilharam
karena berada di dalam wilayah tanah haram (suci). Apakah wuquf di
Masy’arilharam itu merupakan rukun haji, yang tidak akan sah haji itu kecuali
dengannya, sebagaimana pendapat beberapa kelompok ulama salaf dan sebagian
sahabat Syafi’i, di antaranya al-Qaffal dan Ibnu Khuzaimah, berdasarkan hadits
Urwah bin Midhras. Ataukah ia suatu hal yang wajib, sebagaimana hal itu menjadi
salah satu pendapat Imam Syafi’i, sehingga siapa tidak mengerjakannya wajib
membayar dam. Ataukah merupakan perkara sunnah yang bila ditinggalkan tidak ada
kewajiban apa-apa, sebagaimana yang dianut oleh ulama lainnya? Mengenai hal ini
terdapat tiga pendapat ulama. Untuk uraian lebih lanjut akan dikemukakan dalam
pembahasan lainnya. Wallahu a’lam.
Firman-Nya: wadz-kuruuHu kamaa Hadaakum (“Dan berdzikirlah [dengan menyebut]
Allah sebagaimana yang Dia tunjukkan kepadamu.”) Ini merupakan peringatan bagi
mereka atas nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada mereka berupa hidayah,
penjelasan, dan bimbingan kepada syi’ar-syi’ar haji menurut tuntunan Nabi
Ibrahim as. Oleh karena itu Dia berfirman: wa in kuntum min qabliHii
laminadl-dlaalliin (“Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk
orang-orang yang sesat.”) Ada yang mengatakan, sebelum datang petunjuk itu dan
sebelum diturunkannya al-Qur’an, serta sebelum diutusnya Rasulullah. Semua
pengertian itu benar dan sating berkaitan.
(Tidak
ada dosa bagi kamu) dalam (mencari) atau mengusahakan (karunia) atau rezeki
(dari Tuhanmu) yakni dengan berniaga di musim haji. Ayat ini turun untuk
menolak anggapan mereka yang keliru itu (Maka jika kamu telah bertolak),
artinya berangkat (dari Arafah) yakni setelah wukuf di sana, (maka berzikirlah
kepada Allah), yakni setelah bermalam di Muzdalifah sambil membaca talbiah,
tahlil dan berdoa (di Masyarilharam) yaitu nama sebuah bukit di ujung
Muzdalifah disebut Quzah[4].
Dalam
sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi saw. wukuf di sana, berzikir dan berdoa
kepada Allah hingga hari telah amat benderang." (H.R. Muslim). (Dan
berzikirlah kepada-Nya disebabkan petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu) untuk
mengetahui pokok-pokok agama dan tata cara hajinya. 'Kaf' menunjukkan sebab
atau motifnya. (Dan sesungguhnya) dibaca 'in' bukan 'inna' (kamu sebelum itu)
maksudnya sebelum petunjuk itu (termasuk orang-orang yang sesat).
E. Hukum Qiradh
Hukum qirad
adalah Mubah. Rasulullah sendiri pernah mengadakan qirad dengan siti Khadijah
(sebelum menjadi istri beliau) sewaktu berniaga ke negri Syam.
Dalam kenyataan hidup, ada beberapa orang yang memiliki modal, tetapi tidak
mampu atau tidak sempat mengembangkannya. Sementara itu, ada yang memiliki
kesempatan dan kemampuan berusaha,tetapi tidak memiliki modal. Islam memberi
kesempatan kepada keduanya untuk mengadakan kerja sama dalam bentuk qirad.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Qiradh atau
Mudharabah termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah
mudharabah digunakan oleh orang irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan
istilah Qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk
maksud yang sama.
Menurut
bahasa, Qiradh diambil dari kata al-qardhu yang berarti al-qathu(potongan),
sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada
pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan
potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari katamuqaradhah yang
berarti al-musawatu (kesamaan), sebab pemilik modal dan
pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan
untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Sulfudi,Hendi.2010.Fiqh Muamalah.Jakarta: PT.Grafindo Persada
Syafei,Rahmat.2010.Fiqih Muamalah.Bandung: CV.Pustaka Setia
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, 1989. Terjmah Tafsir Al-Maraghi.
CV. Toha Putra.
Antonio, M Syafi’I. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani Press
Hamka, 1998. Tafsir Al-Azhar, Jakarta: PT. Pustaka
Panjimas
Post a Comment for "Qiradh"