Situasi politik di Indonesia
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang berdaulat dan merdeka. Bangsa
yang merdeka mengatur urusan dalam negerinya sendiri. Sejak peristiwa
proklamasi di tahun 1945, terjadi perubahan yang sangat mendasar dari negara
Indonesia, terutama tentang kedaulatan dan sistem pemerintahan serta politik.
Diawal
masa kemerdekaan, kondisi politik Indonesia belum sepenuhnya baik masih
morat-marit dan tidak stabil. Namun, setelah beberapa tahun berlalu kondisi
internal Indonesia sudah mulai teratur dan membaik. Selangkah demi selangkah
Indonesia mulai membenahi dan mengatur sistem pemerintahannya sendiri. Pada
saat terjadi perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, banyak negara
yang terpengaruh oleh kedigdayaan kedua negara tersebut. Tetapi, bangsa
Indonesia tidak terpengaruh oleh keadaan yang terjadi. Indonesia dan beberapa
negara lainnya berkoordinasi dan membentuk sebuah organisasi yang tidak memihak
salah satu dari kedua blok tersebut yang dikenal dengan gerakan negara-negara
non-blok.
Pada
saat itu Indonesia menganut politik bebas aktif, aktif yang berarti tidak
terikat dengan salah satu kelompok yang ada pada saat itu, dan aktif yang
berarti aktif dalam menjaga perdamaian dunia dan mengembangkan kerja sama antar
negara-negara di dunia di segala bidang. Selain itu Indonesia juga menetapkan
strategi nasional untuk mengembangkan negara dan menjaga keutuhan negara. Namun
sekarang ini banyak kawula muda Indonesia yang tidak mengerti akan makna
politik bebas aktif yang di anut oleh Indonesia, dan tidak sedikit di antara
mereka yang salah mengartikan makna politik bebas aktif tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan pemahaman tentang politik?
2. Bagaimana perkembangan politik di Indonesia?
3. Bagaimana situasi politik di Negara kita?
4. Apakah masalah politik saat ini di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dan Pemahaman Tentang Politik
Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai
cabang ilmu yang ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang
pengaturan dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai
membahas masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan
antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik
menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan pengawasan. Ilmu
politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat peningkatan pada
masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman Pertengahan, sedikit berkembang
pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat beberapa perkembangan
substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20
karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri.
Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah
dimulai pada tahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles,
dan lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah
terkumpul beberapa karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul
dalam kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun
500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan Shan
Yang(±350 S.M.)
Di Indonesia sendiri ada beberapa karya tulis tentang
kenegaraan, misalnya Negarakertagama sekitar abad 13 dan Babad Tanah Jawi.
Kesusasteraan di Negara-negara Asia mulai mengalami kemunduran karena terdesak
oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh Negara-negara penjajah dari Barat. Di
Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik pada abad ke-18 dan
ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik hanya
berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah dan filsafat
pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia II. Di Amerika Serikat
terjadi perkembangan berbeda, karena ada keinginan untuk membebaskan diri dari
tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris.
Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi,
sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik.
Perkembangan selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan
didirikannya American Political Science Association pada 1904.
Perkembangan ilmu politik setelah Perang Dunia II
berkembang lebih pesat, misalnya di Amsterdam, Belanda didirikan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, walaupun penelitian tentang negara di Belanda masih
didominasi oleh Fakultas Hukum. Di Indonesia sendiri didirikan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, seperti di Universitas Riau. Perkembangan
awal ilmu politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum,
karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju pada saat itu.Sekarang,
konsep-konsep ilmu politik yang baru sudah mulai diterima oleh masyarakat. Di negara-negara Eropa Timur, pendekatan tradisional dari segi sejarah,
filsafat, dan hukum masih berlaku hingga saat ini. Sesudah keruntuhan
komunisme, ilmu politik berkembang pesat, bisa dilihat dengan ditambahnya
pendekatan-pendekatan yang tengah berkembang di negara-negara barat pada
pendekatan tradisional. Perkembangan ilmu politik juga disebabkan oleh dorongan
kuat beberapa badan internasional, seperti UNESCO. Karena adanya perbedaan
dalam metodologi dan terminologi dalam ilmu politik.
UNESCO pada tahun1948 melakukan survei mengenai ilmu
politik di kira-kira 30 negara. Kemudian,
proyek ini dibahas beberapa ahli di Prancis, dan menghasilkan buku Contemporary
Political Science pada tahun 1948. Selanjutnya UNESCO bersama International
Political Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara,
diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun
1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan
hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and
Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu
sosial(termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan
tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan
mempertemukan pandangan yang berbeda-beda. Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu
sosial banyak memanfaatkan penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi,
psikologi, dan ekonomi, dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan
mutunya dengan banyak mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat
hal ini, wajah ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu
yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.
Politik berasal
dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics,
yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika -
yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya (polites -
warga negara) dan (polis-negara kota).
Secara
etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan polis,kebijakan. Kata
“politis” berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata “politisi”
berarti orang-orang yang menekuni hal politik. Politik adalah seni dan ilmu
untuk meraih kekuasaan secara konstisunal maupun nonkonstistuonal. Di samping
itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
·
Politik adalah usaha yang ditempuh
warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
·
Politik adalah hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
·
Politik merupakan kegiatan yang
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
·
Politik adalah segala sesuatu tentang
proses perumusan dan pelaksanan kebijakan public
Perilaku
politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh
insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan
politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak
dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan
perilaku politik contohnya adalah:
·
Melakukan pemilihan untuk memilih wakil
rakyat / pemimpin
·
Mengikuti dan berhak menjadi insan
politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau
organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
·
Ikut
serta dalam pesta politik
·
Ikut mengkritik atau menurunkan para
pelaku politik yang berotoritas
·
Berhak
untuk menjadi pimpinan politik
·
Berkewajiban untuk melakukan hak dan
kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah
disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku.
B.
Perkembangan
Politik Indonesia
Tak dapat dipungkiri, setiap negara di dunia mempunyai
periode kepemimpinan politik yang beragam. Kemerdekaan Republik Indonesia pada
17 Agustus 1945 menjadi modal awal terbentuknya sistem politik. Kemudian
membentuk pemerintahan yang sah dan menjalankan roda kepemimpinan dalam sebuah
sistem kenegaraan. Hal ini ditandai dengan berbagai istilah di masa-masa
kepemimpinan yang berbeda. Pada awal kemerdekaan, situasi politik Indonesia
masih mencari bentuknya, ditandai dengan berbagai perubahan yang dibuat. Pembentukan
sifat politik ini menghadirkan era kepemimpinan politik yang khas.
Perkembangan Politik Era Presiden Soekarno
Sebagai pemimpin besar revolusi, Soekarno dipandang
sebagai Presiden Republik Indonesia yang punya kharisma politik tersendiri.
Lugas, tegas, menggebu-gebu, semangat, dan cenderung anti-barat merupakan
gambaran yang bisa kita saksikan pada setiap pidato politiknya.Masa awal
kepemimpinannya, ditandai dengan terbentuknya sistem pemerintahan parlementer.
Sistem ini menciptakan sebuah pemerintahan yang memberi kekuasaan dominan
kepada lembaga legislatif. Terbentuknya berbagai partai politik yang bebas
menyuarakan aspirasi merupakan tanda kehidupan politik
terakomodir. Perkembangan politik di era kepemimpinan Soekarno, telah
memberikan ruang luas bagi partai politik untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
politiknya. Ini terbukti dengan terbentuknya sistem kepartaian (multipartai).
Masyarakat pun memiliki pilihan yang banyak untuk menempatkan keterwakilan
politiknya di parlemen. Pemilu sebagai ciri dari negara demokrastis, di era
Soekarno diselenggarakan dengan baik. Kebebasan pers menduduki posisi
tertinggi, sebagai media informasi yang dijamin kebebasannya. Namun hal
tersebut tidak berlangsung lama. Era kepemimpinan kemudian ditandai dengan melemahnya
sistem kepartaian yang bebas. Lalu terjadi gerakan perkembangan yang lambat
terhadap perkembangan politik Indonesia saat itu.
Perkembangan Politik Era Presiden
Soeharto
Perkembangan politik
Indonesia era kepemimpinan Presiden Soeharto di mulai ketika ia "mengambil
alih" kekuasaan dari Presiden Soekarno. Pemerintahan politik dijalani
berdasarkan asas Pancasila, yang juga mengatur seluruh kehidupan berbangsa dan
bernegara. Awalnya, realisasi pengamalan Pancasila mampu diterima masyarakat
sebagi "kiblat"pemerintahan politik yang dijalankan Soeharto. Namun,
berubah sebagai alat pemaksaan kehendak, yang mengubah sistem pemerintahan
menjadi otoriter. Presiden menjadi komandan pemerintahan yang tidak boleh
tersentuh oleh apapun dan siapapun. Kehidupan politik yang diharapkan mengalami
perkembangan setelah runtuhnya rezim Soekarno ternyata hanya jadi retorika
semata.
Posisi
politik lembaga legislatif yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan, malah
menjadi tameng dari pemerintah yang dibangun secara over sentralistik.Rotasi kekuasaan politik tak pernah terjadi hingga 32
tahun lamanya. Pemilu hanya dijadikan rutinitas lima tahunan yang pemenangnya
sudah bisa ditebak. Partai Golkar menjadi kendaraan politik yang ampuh
digunakan oleh Soeharto untuk mengamankan setiap keputusan politik
pemerintahannya di DPR. Bahkan, Presiden Soeharto berubah sangat arogan, dengan
menggunakan kekuatan militer pada setiap situasi keamanan yang bisa saja
mendorong masyarakat untuk bergerak melawan rezimnya yang korup.
Perkembangan Politik Era Reformasi
Tidak ada yang dapat memberikan penilaian dengan pasti
apakah cita-cita reformasi sudah terwujud atau belum. Runtuhnya kekuasaan
Soeharto padahal telah memberikan secercah harapan bagi terciptanya iklim
demokrasi yang jauh lebih baik. Namun, harapan itu kenyataan hanya menjadi
mimpi tanpa realisasi nyata. Masih adanya perbedaan dalam pandangan ketegasan
terhadap sistem pemerintahan, merupakan salah satu indikator yang bisa kita
lihat. Di sini terlihat ada persaingan politik yang terjadi, antara pemerintah
dan legislatif sebagai pembuat produk undang-undang.
Kekuasaan presiden tidak mutlak dijalankan secara penuh,
tapi terpengaruh pada parlemen. Hal ini akhirnya menciptakan situasi politik
yang tidak sehat, karena presiden terpaku oleh kepentingan lain. Kepentingan
itu bisa jadi tidak berpengaruh pada perbaikan kondisi bangsa secara
keseluruhan. Dari uraian tadi, jelas terlihat bahwa sistem demokrasi dalam
perkembangan politik Indonesia yang dibangun pasca Orde Baru masih mencari
bentuk yang ideal. Satu prestasi yang patut kita cermati adalah keinginan yang
kuat untuk merealisasikan sistem pemilihan kepala daerah langsung. Kebebasan
berserikat dan berpendapat yang ada dalam undang-undang dasar direalisasikan
dengan sistem multipartai.
Demokrasi
Parlementer (1950-1959)
Parlemen memainkan peranan yang dominan.Akuntabilitas
pemegang jabatan dan politisi sangat tinggi.Partai baru hidup bebas dengan
sistem multipartai Pemilu 1955 dilaksanakan sangat demokratis
Hak-hak dasar masyarakat sangat dikurangi Partai besar mempunyai surat
kabar
Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Mengaburnya sistem kepartaian terbentuknya DPR-GR,
peranan legislatif lemah Penghormatan hak dasar melemah, presiden menyingkirkan
lawan-lawan politik Kebebasan pers meredup, beberapa media yang dibredel
Sentralisasi kekuasaan dominan dalam hubungan pusat
daerah
Era Presiden Soeharto
·
Demokrasi
Pancasila (1966-1998)
·
Kekuasaan
kepresidenan pusat dari seluruh proses politik
·
Rotasi
kekuasaaan politik hampir tidak pernah terjadi
·
Rekruitmen
politik tertutup
·
Pemilu
dilakukan lima tahun sekali
·
Partai
politik dibatasi
·
Hak-hak
dasar manusia dibatasi.
Era Pasca Soeharto
·
Demokrasi
Era Transisi (1998-sekarang)
·
Kepala
negara dan kepala daerah dipilih lagsung
·
Sistem
presidensial dengan multipartai
·
Kebebasan
pers, kebebasan berorganisasi, dan kebebasan berpendapat
·
Lembaga
perwakilan terdiri dari DPR dan DPD
·
Lembaga
pengadilan diawasi komisi yudisial
·
Munculnya
komisi-komisi negara.
C. Lembaga Politik
Secara awam berarti suatu organisasi tetapi lembaga bisa
juga merupakan suatu kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah
lembaga sosial, baik yang diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di
Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam
konteks ini suatu organisasi juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan
memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu
demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga
politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik. Pemilihan
pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan
kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu
bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan
umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam
kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita
untuk duduk di parlemen.
Persoalan
utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi.
Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama
orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang
harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara
feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau
profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi
lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan
kesejahteraan.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan
perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong
terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena
diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa
dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara
untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu
lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
D. Pengertian
Partai Politik
Partai
berasal dari bahasa Latin yaitu partire yang bermakna membagi.Partai merupakan
peralihan jangka panjang dari istilah faksi, dimana faksi di Eropa pada masa
lalu sekitar abad XVIII memiliki konotasi negatif dan sangat dikenal sebagai
organisasi penghasut yang ada dalam setiap bentuk organisasi politik. Faksi
berasal dari bahasa Latin, yakni facere yang artinya bertindak atau berbuat,
dalam pengertian politik faksi adalah kelompok yang melakukan tindakan-tindakan
merusak, kejam dan bengis. Pembicaraan tentang faksi biasanya mengarah pada
pembicaraan kelompok di mana kepentingan bersama harus tunduk pada kepentingan
perorangan.
Mariam Budiarjo dalam bukunya dasar-dasar Ilmu Politik
mengutip berbagai difinisi partai politik dari berbagai sarjana. Ia sendiri
merumuskan partai politik sebagai suatu kelompok yang teroganisir yang
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita yang sama Tujuan kelompok
ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya) secara konstitusionil –untuk melaksankan kebijaksanan-kebijaksanaan
mereka. Menurut Sigmund Neumann menyatakan Partai Politik sebagai organisasi
artikualitif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam
masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian
kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat
dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
tersebut memperjuangkan kepentingan anggotanya baik kepenting yang bersipat
idiil maupun materiil
Pengertian Partai politik secara normatif di muat
dalam berbagai peraturuan keparataian yang ada dan pernah ada. Dalam
Undang-undang kepartaian yang baru yakni Undang-undang Nomor 2 tahun 1999,
Partai politik dirumuskan sebagai berikut : “….Partai politik adalah setiap
organisasi yang dibentuk oleh warganegara Republik Indonesia secara suka rela
atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya
maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum”.
Dalam lietratur politik, kita juga mengenal yang namanya
kelompok kepentingan atau intrest group dan kelompok penekan atau pressure
group. Kedua kelompok ini meski memperjuangkan kepentingan kelompoknya tetapi mereka
tidak dapat kata sebagai partai politik. Kelompok Kepentingan adalah merupakan
suatu organisasi yang terdiri dari kelompok individu yang mempunyai
kepentingan-kepentingan, tujuan –tujuan, keinginan-keinginan yang sama, dan
mereka melakukan kerja sama untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintahan demi
tercapainya kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan
tadi. Perbedaan kedua antara partai politik dengan kelompok kepentingan adalah
bahwa Partai Politik berusaha untuk memperoleh kekuasaan yang pada
giliranya akan dipergunakan untuk mengendalikan/mengontrol jalannya roda pemerintahan dalam usahanya
merealisir atau mewujudkan program-program yang telah ditetapkan. è Kelompok
Kepentingan hanya berusaha untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dalam
rangka agar dapat terpenuhi kepentingan-kepentingan atau mencegah kebijaksanaan
Pemerintahan yang mungkin dapat merugikannya dan dalam waktu yang sama kelompok
kepentingan tidak berusaha untuk memperoleh jabatan publik.
Fungsi Partai
Politik
Ada beberapa macam fungsi dari
partai politik , yaitu :
1. Partai politik sebagai sarana komunikasi politik.
Dalam menjalankan fungsi ini,
Partai politik menghimpun berbagai masukan ,ide dari berbagai lapisan
masyarakat. Asfirasi ini kemudian digabungkan. Proses penggabungan ini sering
disebut sebagai “penggabungan kepentingan” (intres aggregation). Setelah
berbegai gagasan, ide , kepentingan tersebut digabungkan , selanjutnya
berebagai kepentingan tersebut disusun dan rumuskan secarat sistematik dan teratur,
proses ini sering disebut dengan perumusan kepentingan (articulation Intrest).
Rumusan tersebut kemudian di jadikan propram partai yang akan di perjuangkan
dan disampaikan kepada pemerintah untuk dijadikan suatu kebijakan umum.
Selain
komunikasi yang demikian, partai politik juga berperan sebagai wadah untuk
menyebarluaskan kebijakan pemerintah dan mendiskusikannya. Dengan demikian
terjadi dialog baik dari bawah keatas maupun dari atas kebawah. Peran yang
demikian , menempatkan partai politik sebagai perantara atau penghubung antara
masyarakat dengan pemerintah dalam suatu ide-ide atau gagasan gagasan.
2. Partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi
politik. Dalam ilmu politik sosialisasi
politik diartikan sebagai sebagai proses dimana seseorang memperoleh sikap dan
orientasi terhadap phenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyrakat
dimana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur
dari masa kecil hingga ia dewasa. Disamping itu sosialisasi politik juga
mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan
nialai-nilai adri satu generasi ke generasi berikutunya.
Dalam
hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi
politik . Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan pemilu, parati
memerlukan dukungan massa. Untuk itu partai menciptalan “imege” bahwa ia
memperjuangkan kepentingan umum. Disamping menenmkan solidaritas dengan partai
, partai politik juga mendidik anggotanya menjadi manusia yang sadar akan
tanggung jawabnya sebagai warganegara dan menempatkan kepentingan sendiri
dibawah kepentingan nasional. Di negara-negara baru, partai politik juga
berperan untuk memupuk identitas nasional dan itegritas nasional. Proses
sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah, penerangan, kursus
kader dan lainnya.
3. Partai Politik sebagai sarana recriutment politik Partai
politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk
turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai . Dengan demikian
partai turut memperluas memperluas partisifasi politik . Caranya ialah melalui
kontak pribadi , persuasi dsn lain-lain. Juga di usahakan untuk menarik
golongan muda untuk didik menjadi kader partai yang dimasa mendatang
menggantikan pimpinan lama.
4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dalam
suasana demokratis , persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat adalah
maslah yang wajar , jika terjadi konflik , partai politik berusaha
mengatasinya. Fungsi partai politik secara normatif dirumusakan dalam
Undang-undang nomor 2 tahun 1999 sebagai berikut : ¨ Partai politik berfungsi :
¨ Melaksanakan pendidikan politik dengan menumbuhkan dan mengembangkan
kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara; ¨ Menyerap,menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat
dalam pembuatan kebijaksanaan negara melalui mekanisme badan-badan
permusyawaratan / perwakilan rakyat; ¨ Mempersiapkan anggota masyarakat untuk
mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi.
E.
Struktur
– Struktur Politik Informal di Luar Partai Politik
Struktur – struktur politik informal seperti media massa,
kelompok – kelompok berbasis agama, LSM atau NGO, dan asosiasi profesi telah
menunjukkan eksistensinya dalam sistem politik setelah selama kurang lebih 32
tahun ditekan oleh pemerintah. Bahkan, struktur – struktur politik informal
tersebut telah memainkan peran penting dalam melakukan artikulasi kepentingan
dan memberikan input yang berharga bagi sistem politik
ketika struktur politik formal mengalami kemandegan dan gagal memainkan fungsi
yang seharusnya mereka laksanakan. Dengan kata lain, ketika partai politik
gagal melaksanakan fungsinya dalam menggalang dan melembagakan partisipasi
politik, misalnya, kelompok – kelompok informal ini menggantikan peran partai
politik dengan memobilisasi dukungan dan terlibat aktif dalam memengaruhi
kebujakan – kebijakan publik. Dalam kaitan ini, terdapat banyak kebijakan
pemerintah yang akhirnya urung dilaksanakan sebagai akibat tekanan yang terus –
menerus dari struktur – struktur informal ini.
Media massa, misalnya, telah memainkan peran dalam
melakukan sosialisasi politik dan komunikasi politik. Kemampuannya dalam
menggalang opini publik telah membuatnya menjadi kekuatan demokrasi yang
penting dalam beberapa tahun belakangan. Diberlakukanya UU No. 40 tahun 1999
telah membuatnya mampu berperan sebagai salah satu pilar demokrasi yang
penting. Meskipun di antara pengamat menaruh keprihatinan yang mendalam sebagai
akibat kiprah media massa dalam menggalang opini publik yang menyesatkan,
tetapi fungsinya yang penting dalam komunikasi dan sosialisasi politik tidak
dapat diragukan lagi. Media massa baik cetak ataupun elektronik telah secara
intensif memberitakan berbagai persoalan masyarakat, mulai dari korupsi,
kemiskinan, penyebaran penyakit flu burung, busung lapar, dan meluasnya
kemiskinan dan pengangguran telah menjadi input penting bagi sistem politik. Sementara
pada waktu bersamaan, media massa telah menyampaikan informasi kepada masyarakat
mengenai berbagai tindakan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Beberapa tindakan dan kebijakan pemerintah yang disampaikan oleh media massa
tersebut memeancing diskusi publik selama berhari – hari hingga berbulan –
bulan.
Kalangan LSM atau sering juga disebut sebagai NGO atau
CSO juga telah menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan pada era
reformasi. Pada masa Orde Baru, LSM telah menjadi salah satu kekuatan sosial
yang penting dalam melakukan kritik terhadap pemerintah ketika kekuatan –
kekuatan lain dalam masyarakatdiam sebagai akibat represi pemerintahan Orde
Baru secara brutal. Dalam artikel yang diberi judul, “Indonesia Flexible NGO vs
Inconsistent State Control”, Yumiko Sakai mengemukakan bahwa pada era tahun
1970 – an NGO mulai melakukan kegiatan dengan sungguh – sungguh, dan ini karena
setidaknya empat alasan, pertama, meningkatnya kemiskinan di daerah urban dan
daerah pedesaan, kedua, perubahan lingkungan politik domestik pada era tahun
1970 – an, ketiga, keberadaan kelompok – kelompok strategis masyarakat sebagai
pemimpin, keempat, aliran dan bantuan finansial dari komunitas – komunitas
internasional. Saat ini tidak kurang dari 12.000 NGO yang tercatat di seluruh
Indonesia.
Pada era reformasi, LSM ini semakin mengakar dalam masyarakat
dengan perhatian yang beragam. Beberapa di antaranya menaruh perhatian di
bidang demokrasi, globalisasi, good
governance, pemberdayaan konsumen, media, pertanian, isu – isu lingkungan
hidup, korupsi, pemberdayaan perempuan, penyelamatan hewan, penegakan hukum dan
lain sebagainya. Mereka terlibat aktif memengaruhi kebijakan publik berkenaan
dengan bidang – bidang yang mereka tekuni. Mereka terlibat dalam lobi – lobi
politik di DPR dan pemerintah agar kepentigan mereka dilindungi dan tujuan –
tujuan mereka tercapai melalui sistem politik.
Kekuatan politik LSM ini menjadi signifikan tatakala
mereka mempunya jaringan – jaringan internasional. Biasanya mereka dibiayai
oleh lembaga – lembaga donor internasional, dan tidak sedikit diantaranya mempu
menggalang opini publik tidak saja di tingkat lokal, tetapi juga nasional dan
inernasional. LSM – LSM yang menaruh perhatian dalam pemberdayaan perempuan dan
anti kekerasan domestik, misalnya secara aktif melakukan lobi terhadap struktur
– struktur politik formal ketika kebijakan pemerintah dianggap mengancam
kelompok – kelompok yang mereka perjuangkan. Meskipun tidak semua LSM mempunyai
perilaku dan tabiat yang baik sebagaimana dikeluhkan oleh beberapa pihak,
tetapi eksistensi mereka sangat penting dalam konteks artikulasi kepentingan
sebagai bagian masyarakat sipil yang otonom. Diharapkan, kemunculan kelompok –
kelompok LSM ini mendorong partisipasi rakyat dalam skala yang lebih luas dalam
proses pembuatan, implementasi, dan evaluasi kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah.
Asosiasi – asosiasi profesi juga mempunyai peran tidak
kalah pentingnya dalam proses artikulasi kepentingan. Pada masa Orde Baru,
lembaga asosiasi profesi semacam ini telah menjadi alat korporatisme negara
yang relatif efektif dalam mengontrol masyarakat, terutama anggota – anggota
profesi. Untuk itu, bagi asosiasi profesi tidak diizinkan mempunyai asosiasi di
luar yang direstui oleh pemerintah. Sebagai akibatnya, asosiasi – asosiasi
profesi semacam ini bukannya memperjuangkan kepentingan profesi dan anggota –
anggotanya, tetapi malahan ditujukan untuk membungkam aspirasi yang barangkali
berkembang dalam asosiasi.
Kondisi di atas telah banyak mengalami perubahan sejak
reformasi dicanangkan tahun 1998. Para professional didizinka untuk mendirikan
organisasi profesi sesuai dengan yang mereka inginkan, dan setiap profesi tidak
harus hanya terdiri dari satu asosiasi profesi. Oleh karena itu, pada era
sekarang ini, kita dapat, misalnya, menemukan lebih dari satu organisasi
wartawan di seluruh Indonesia. Padahal, pada masa Orde Baru, hanya PWI yang
direstui oleh pemerintah dan dengan demikian menjadi satu – satunya asosiasi
yang syah bagi para wartawan.
Proses demokratisasi telah membuat organisasi –
organisasi ini berani menyuarakan hak – haknya. PGRI sebagai salah satu
organisasi guru yang berdiri sejak pemerintahan Orde Baru telah menyuarakan hak
– hak guru. Bahkan, mereka berani melakukan boikot dalam bentuk “mogok
mengajar” ketika kebijakan pemerintah dirasa merugikan kepentingan – kepentingan
mereka. Organisasi – organisasi lain, semacam organisasi petani juga melakukan
hal yang kurang lebih sama. Bahkan, asosiasi kepala desa saluruh Indonesia
berani mendatangi pemerintah pusat untuk memperjuangkan hak-haknya. Keseluruhan
fenomena ini mengindikasikan bahwa lembaga – lembaga politik informal telah
mempunyai peran penting dalam sistem politik demokrasi. Mereka terlibat dalam
proses artikulasi dan agregasi kepentingan yang menjadi input penting sistem politik. Namun
sayangnya, rendahnya responbilitas sistem politik membuat artikulasi dan
agregasi kepnetingan ini berujung pada anarkisme massa.
F. Situasi Politik di Negara Kita
Situasi politik
di Indonesia saat ini mengalami gelombang naik turun. Tingkat partisipasi
masyarakat yang semakin diberikan tempat dan kesempatan untuk mengeluarkan
pendapat menimbulkan kritik masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat
pengusaha. Kritik yang ditujukan pada individu, kelompok, lembaga, maupun
instansi pemerintah dilakukan dengan berbagai cara, bentuk, dan penggunaan
media.Persoalan politik Indonesia sekarang menjadi suatu wacana terbuka yang
dapat diikritisi oleh masyarakat kalangan apapun.
Politik
Indonesia dewasa ini seperti sedang mendominasi wacana di media. Layaknya gula
yang sedang di kelilingi semut, seperti itulah media yang memberitakan kondisi
politik di Indonesia.
Saat ini
kondisi politik yang terjadi justru saling memperebutkan kekuasaan. Para
penjabat yang memiliki kekuasaan telah melupakan masyarakat. Janji – janji yang
dulu di buat justru di lupakan seiring dengan kursi kekuasaan yang di peroleh.
Seolah tidak menerima dengan kemenangan sang rival, maka berusaha mencari
kesalahan untuk dapat menggulingkan.
Kondisi politik
di Indonesia sangatlah memprihatinkan. Para pejabat masih saja sibuk mengurusi
kursi jabatannya. Lagi – lagi mereka melupakan soal rakyat. Semisal saja soal
kasus suap wisma atlet. kita ketahui bahwa Anggelina S merupakan kunci dari
bobroknya korupsi yang terjadi di Wisma Atlet. Namun, apa yang terjadi? Apakah
Anggelina S berbicara jujur terkait korupsi yang terjadi di Wisma Atlet? Tidak
kawan, justru beliau menutupi kondisi yang sebenarnya terjadi. Kondisi
tersebut sangatlah memprihatinkan. Hal tersebut masih salah satu contoh yang
ada. Berbicara kondisi politik di Indonesia maka tidak akan jauh dari sebuah
kekuasaan. Dewasa ini politik justru seringkali di gunakan sebagai alat untuk
mencapai kekuasaan. Ntah dengan apa pun, tidak melihat rambu rambu yang ada,
hal yang terpenting kursi kekuasaan harus di dapat. Namun, kursi kekuasaan itu
harus di bayar dengan pengorbanan yang besar juga baik itu fikiran dan materil. Akhirnya rakyat
yang menjadi korban dari kondisi politik yang ada sekarang. Para birokrat
bangsa ini sepertinya masih terlalu sibuk untuk terus berebut kursi kekuasaan. Sebenarnya
politik layaknya sebuah pisau. Bila pisau tersebut di gunakan oleh ibu rumah
tangga untuk memasak maka pisau akanlah sangat bermanfaat. Maka akan tersedia
hidangan yang lezat untuk keluarga. Namun beda cerita bila pisau tersebut di
gunakan oleh pembunuh. Maka yang terjadi adalah sebuah kesedihan dan
kesengsaraan yang terjadi. Begitu pula dengan politik, ia akan bisa menjadi sebuah
alat untuk mencapai sebuah kebahagiaan atau malah menjadi sebuah kesengsaraan.
Dewasa ini,
para politikus yang ada justru tidak mampu memberikan sebuah kesejukan di
tengah gerahnya suasana politik yang ada. Para politikus ini nampaknya masih
terlalu sibuk. Padahal rakyat Indonesia di luar sana menjadi korban mereka. Kita semua bisa
melihat gejala mati rasa penyelenggara negara misalnya dalam soal pembelian
mobil mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II atau juga
pembangunan pagar istana presiden yang menelan biaya puluhan miliar rupiah.
Kebijakan itu jelas mencederai rasa keadilan publik karena di saat yang sama
kemiskinan masih mengharu biru Indonesia (jumlah orang miskin di Indonesia per
Maret 2010 berdasar BPS sebanyak 31,02 juta orang–relatif tak banyak berubah
jika dibandingkan dengan data per Februari 2005, yakni sebesar 35,10 juta
orang). Publik juga bisa melihat bagaimana penyikapan kasus Lapindo, terjadinya
‘kriminalisasi’ terhadap dua pemimpin KPK, penanganan kasus Bank Century yang
belum jelas bagaimana akhirnya, serta kuatnya nuansa tebang pilih terhadap
penanganan kasus korupsi. Kesemuanya itu adalah contoh-contoh lain yang harus
diakui kian mengiris rasa keadilan. Kendati dibalut pernyataan-pernyataan yang
apik dan santun, toh penyikapan dari penyelenggara negara terhadap kasus-kasus
tersebut tetap saja dinilai jauh dari komitmen untuk mewujudkan aspirasi dan
kehendak rakyat.
Selain contoh
contoh yang ada di atas, masih banyak kita lihat masalah soal kemiskinan, putus
sekolah dan kelaparan. Namun sepertinya para pejabat ini masih belum tersentuh
untuk menuju ke situ akhirnya masih berkutat dengan masalah kekuasaan.
Sebenarnya
politik tidak hanya di kekuasaan saja. Namun ekonomi pun sudah di politikkan.
Sebenarnya politik itu merupakan bagaimana seseorang mampu mempengaruhi orang
sekelompok lain agar mengikuti gagasan yang kita fikirkan. Dalam aspek
obyektif, Sukardi mencontohkan harga cabai yang makin hari semakin mahal.
Kondisi tersebut akan semakin parah bila pemerintah mengeluarkan kebijakan
yang tergesa-gesa, misalnya dengan kenaikan harga tiket kereta ekonomi.
Momentum ini bisa dipakai untuk menyerang kekuatan politik lawannya. Untuk aspek
dari daerah, Sukardi mencontohkan polemik keistimewaan Yogyakarta yang hingga
saat ini masih berlarut-larut. Menurut Sukardi, pemerintah harus cepat
menyelesaikan polemik tersebut. Kalau tidak, masalah itu juga akan dijadikan
partai lain sebagai amunisi untuk menyerang Demokrat. Sekarang ini
keadaan politik di Indonesia tidak seperti yang diinginkan. Banyak rakyat
beranggapan bahwa politik di Indonesia adalah sesuatu yang hanya mementingkan
dan merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Pemerintah Indonesia pun
tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Hal ini ditunjukkan
oleh sebagian rakyat yang mengeluh, karena hidup mereka belum dapat
disejahterakan oleh negara. Pandangan masyarakat terhadap politik itu sendiri
menjadi buruk, dikarenakan pemerintah Indonesia yang tidak menjalankan
kewajibannya sebagai wakil rakyat dengan baik.bagi mereka politik hanyalah
sesuatu yang buruk dalam mencapai kekuasaan.
Jika hal ini
terus di biarkan, maka seperti bom yang terus di pendam. Maka suatu saat akan
meletus juga. Jika kondisi pemerintah terus seperti ini maka tidakl mustahil
jika rakyat tidak akan percaya dengan politik. Ketidakpercayaan para rakyat
inilah yang sangat berbahaya bagi kestabilan negara. Akibatnya masyarakat akan
cenderung apatis terhadap kondisi sebuah negara. Karena kestabilan negara juga
di pengaruhi oleh kestabilan politik yang ada di negara tersebut. Apabila
gejolak politik di suatu negara terus menerus bergejolak maka tidak mustahil
jika terjadi peperangan. Akibatnya masyarakat yang menjadi korban seperti
negara negara di timur tengah.
Dapat disimpulkan bahwa Rakyat
Indonesia belum merasakan kinerja yang baik dari pemerintah Indonesia, malahan
membuat mereka memandang buruk terhadap politik itu sendiri. Selain itu, para
generasi muda Indonesia haruslah diperkenalkan dengan politik yang sebenarnya,
agar dikemudian hari mereka dapat menjadi generasi baru yang lebih bertanggung
jawab. Sehingga kondisi bangsa ini tidak terus terpuruk akibat politik tidak
bertanggungjawab para pejabat sekarang. Sedah seharusnya kita membanahi bangsa
ini. Karena bila kondisi seperti ini terus di budayakan, maka bukanlah hal yang
mustahil jika suatu saat nanti nama Indonesia hanya tinggal sejarah.
Untuk
menyambung informasi antara pemerintah dengan masyarakat, media menawarkan
beragam pilihan cara memperoleh informasi, mulai dari penyiaran media
elektronik seperti televisi dan radio, media cetak seperti surat kabar,
majalah, dan buletin, hingga media online yang sekarang mulai berkembang. Dalam
memperoleh informasi pada media cetak kita hanya perlu menggunakan kemampuan
visual yang kita miliki. Isi ataupun rubrik yang dimiliki media cetak juga
sangat beragam mulai dari opini. Politik adalah proses pembentukan
dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembutan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai
hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Dalam
perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari system
sosial. Perspektif atau pendekatan system melihat keseluruhan interaksi
yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya
dan memiliki hubungan yang relatif tetap di antara elemen-elemen pembentuknya.
Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut. Misalnya dengan
menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan
antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan
antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya
merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok
penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan mengubah sudut
pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik,
lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem
politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam
sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam
model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus
diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang
diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk
menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak
jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan
diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem
politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
G.
Masalah Politik Saat Ini di
Indonesia
Kandungan terpenting dalam
memahami kecenderungan politis di Indonesia, yakni bagaimana kita memahami
aspek keragaman sosial itu sendiri. Sementara itu, dalam kontek pemahaman demokrasi,
terletak pada kemampuan kita mengelola dengan baik potensi-potensi sosial
tersebut menjadi semacam modal kultural. Sehingga, keragaman sosial itu, dapat
kita jadikan semacam potensi sosial, guna memperkuat nilai-nilai demokrasi.
Harapan dan angan-angan membangun masyarakat Indonesia yang demokratis,
bagaimanapun juga harus dikuasai sebagai variabel pendukung pembaharuan, bukan
justru dijadikan sumber masalah, untuk kemudian dijadikan alasan terjadinya
konflik sosial. Pada tahap bahwa keragaman sosial dinyatakan sebagai kekayaan
atas bentuk demokrasi “model Indonesia”, menurut hemat penulis akan melahirkan
beragam bentuk prasyarat-prasyarat politis- yang intinya lebih banyak melakukan
beragam akomodasi- dan bukan berupa represi kultural, seperti pernah dilakukan
oleh rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, kekuasan negara di tengah-tengah
masyarakat Indonesia yang serba multi-kultural ini, hendaknya penguasa politik
tidak mungkin hanya menyederhanakan masalah melalui praktek politik
jargon-jargon seperti: integrasi, kebhinekaan dan bentuk kekuasaan feodal yang
hegemonik.
Sebaliknya,
apabila potensi sosio-kultural itu tidak dikelola dengan baik, besar
kemungkinannya akan melahirkan pergesekan-pergesakan kultural yang berjung pada
ketidak-stabilan politik. Selama kurun perubahan politik pasca kejatuhan Orde
Baru, telah kita saksikan betapa buruknya pengelolaan potensi sosial oleh
kekuasaan negara. Terlebih, apabila kita melihat bangkitnya gerakan sparatisme
akhir-akhir ini, dengan kasat mata, kekuasaan politik terlalu mudah
menyederhanakan masalah. Keragaman tuntutan dimaknai hanya sebagai bentuk
kerewelan daerah-serta dianggap menggangu kedudukan pusat kekuasaan. Padahal,
suka atau tidak suka, tuntutan perubahan dari beragam bangsa-bangsa di
Indonesia, akan terus menerus menjadi sebuah keniscayaan politik yang sulit
untuk kita bendung. Keragaman sebagai keniscyaan wacana multikulturalisme
hendaknya dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia
yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflikstual. Saat ini muncul
kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan,
pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, sampai dengan orientasi
politik. Tawaran paradigma berupa kesadaran multikulturalisme,memang, bukanlah
hal yang baru. Masalahnya, bagaimana caranya kita dapat memobilisasikan konsep
keberagaman tersebut melalui proses pengambilan keputusan politis. Pasalnya,
selang bertahun-tahun, konsep keberagaman yang dijabarkan secara politis ke
dalam konsep Kebhinekaan, hanya bekerja pada tataran kognitif semata.
Sebaliknya, dalam praktek kekuasaan yang ada, justru melakukan tindak penolakan
(ketidak-konsistensi), seperti tergambarkan melalui sentralisasi politik dan
sosial. Penyelewengan konsepsi bernegara semacam itu, setidaknya berhasil
menghadirkan kondisi yang buruk- seperti melahirkan stigma politis atas hak-hak
manusia Indonesia. Berdasarkan sudut pandang seperti itu, sudah semestinya,
yang kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan Indonesia yang cerdas, dalam
arti mampu melihat ancaman menjadi potensi. Konsepsi Indonesia dengan segala
bentuk keragaman kulturalnya, pada tahapan teoritik, akan membawa masyarakat
Indonesia pada bentuk kesadaran, bahwa kita merupakan bangsa yang majemuk
(plural), bangsa yang kaya ragamnya (diversity) dan sebagai bangsa
multikultural. Dengan kenyataan semacam ini, konklusi yang hendak ditawarkan di
sini adalah; bagaimana para pelaku politik mempunyai tanggung jawab yang
memadai- dan dengan maksud mampu mengakomodir segala bentuk kemajemukan sosial.
Sifat hetrogenik semacam ini, bilamana tidak dijadikan sebagai landasan kerja
politik , menurut hemat penulis akan semakin menjauhkan posisi para politisi
negara/aparatus negara dengan massa pendukungnya. Terlebih, apabila kita kaitkan
kondisi tersebut dengan tuntutan perubahan ke depan. Secara terang benderang,
para politisi telah meramalkan suatu kondisi dunia dengan meningkatnya
kesadaran etnositas yang serba tidak tunggal (majemuk) dan penuh konflik jangka
pendek.
Indikasi
kebenaran teoritik tersebut, secara kasatmata sudah kita rasakan saat ini.
Persoalannya, model demokrasi yang menekankan kesadaran pluralitas, harus
didasarkan semangat egaliterisme- dengan muatan dan prasayarat yang sangat
kompleks. Hal ini sejalan dengan pandangan ahli filsafat bernama James Mills
yang menyatakan bahwa demokrasi bersifat plural tidak dapat dipraktekan dengan
semena-mena. Hal itu menyangkut persiapan kelembagaan, sistem kenegaraan dan
moralitas bangsa dalam menghadapi tantangan-tantangan baru yang dibawa oleh
sifat keterbukaan pluralisme. Bilamana model demokrasi yang menekankan
pluralitas hendak diterapkan, sepatutnya kita mencermatinya secara lebih kritis
lagi. Salah praktek, akibatnya akan mengakibatkan anarkisme kekuasaan dan
kemudian dibarengi oleh anarkisme sosial yang cenderung distruktif. Maka dari
itu, di tengah bangkitnya kesadaran lokal yang kian hari kian meningkat, sudah
sepatutnya beragam piranti negara jauh lebih serius, manakala kita menghendaki
geo-politik Indonesia hendak dipertahankan. Dengan lain perkataan, apakah kita
akan tetap mempertahankan konsepsi politik negara dalam bentuk wacana
integratif atau kita mengubahnya menjadi bentuk negara yang lebih
pluralisti-seperti kita memikirkan kembali bentuk negara feredartif. Tanpa kesiapan
untuk melakukan perubahan paradigma negara secara lebih mendasar, saya
mengkhawatirkan cara-cara penanggulangan masalah seperti yang diberlakukan
terhadap Aceh, akan sangat tidak bermanfaat dalam perspektif Indonesia ke
depan. Sejarah telah membuktikan, tidak ada satu pun kasus yang dapat
membuktikan bahwa dengan cara-cara pendekatan represif mampu menyelesaikan
secara tuntas akar permasalahan sparatisme. Alasannya sepele saja,
perlawanan-perlawana itu akan menjadi obor baru bagi perlawanan berikutnya,
bilamana negara melakukan kekerasan politik terhadap sebuah entitas politik.
Kita dapat merujuk pada kasus di Kashmir, Liberia, Chec bahkan kasus negara
tetangga seperti yang terjadi di Philipinan Selatan, kesemuanya gagal
diselesaikan melalui jalan kekerasan politik. Pada tataran semacam itu, penulis
mengkhawatirkan, apabila kita di masa mendatang justru memaskui wilayah
perubahan yang “tidak kita kenali”. Lebih parah lagi apabila para politisi
justru menempatkan diri seperti pernah dinyatakan oleh mantan Direktur Program
Kajian Asia Tenggara, Ohio University, serta Associate Professor, Department of
Philosophy, Ohio University, Athens, Ohio, Elizabeth Fuller Collins sebagai
berikut :
“(suatu)
proses transisi politik yang bergolak pasti hampir selalu melibatkan
upaya-upaya dari elit-elit yang bertikai untuk memobilisasi bagian-bagian
tertentu dari masyarakat, termasuk diantaranya para pekerja, yang saat ini
dikecualikan secara resmi dari kehidupan politik. Dibawah situasi seperti itu,
tampaknya akan sangat mungkin…bagi partai-partai politik dan
organisasi-organisasi lain, yang mewakili bagian-bagian tertentu dari elit
politik, untuk mencoba memperkokoh posisi mereka di dalam konfigurasi politik
pasca-Suharto.”
Karenanya,
kerumitan akaibat luasnya ruang lingkup konflik di tanah air, merupakan potensi
gangguan kekerasan. Bentuk keragama denga konsekuensi menguatnya politik
kekerasan, muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan
lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi
penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan)
identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses
untuk atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang
dijatuhkan oleh negara (state-sanctioned violence) untuk menghasut atau menekan
konflik. Dalam kontek ini, klaim bahwa Indonesia adalah suatu budaya yang penuh
kekerasan (a violent culture) hanyalah sebuah klaim politik yang dapat
dimanfaatkan untuk membenarkan kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan
negara berikutnya. Berdasarkan realitas politik seperti itu, paham
multikulturalisme diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap proses
demokratisasi. Upaya terus menerus mengetangahkan persamaan hak politik di
tingkat sosial yang lebih luas, akan menghubungkan multikulturalisme dengan
demokrasi. Terlebih jika kita melihat sisi keragaman budaya itu, sebagai modal
sosial, maka yang kita lihat bahwa hetrogenitas itu menawarkan jalur-jalur baru
yang kelak kemudian hari akan memberi jalan alternatif pembaharuan politik di
Indonesia. Karena multikulturalsisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat
atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep
kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Dasar untuk menempatkan hakekat kemanusiaan, menjadi memiliki relevansi,
terlebih melihat kondisi politik Indonesia, yang kian hari kian menunjukan
tindak anarkisme. Politik Indonesia membutuhkan pintu baru, sebuah cara untuk
mengenali kembali akar sosialnya sendiri. Meskipun begitu, di bawah
interpretasi-interpretasi yang penuh bias itu adalah demokrasi dan semangat
pembaharuan yang pluralistik merupakan pilihan yang sangatlah sulit bagi
kehidupan di tanah air.Langkah untuk mengetahui, meskipun sulit untuk
mengatakan, mengapa dan bagaimana demokrasi menjadi jalan yang terjal untuk
sebuah prasyarat perubahan, kita dapat kembali memaknai seluruh peristiwa
perubahan sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk terus menjadikan masa
lalu yang buruk untuk membangun kembali, sekian catatan kegagalan bangsa ini
mencari bentuknya yang paling ideal. Bahwa kesadaran, catatan dan harapan yang
kini tak ubahnya sulit kita pahami, tetapi setidaknya kesadaran akan perubahan
bisa memberikan cukup informasi untuk mengetahui bahwa kekerasan, bahkan
kebrutalan politik, bukanlah satu-satunya modal kultural yang kita miliki.
Masih terdapat banyak cara, untuk menyusun kembali “puzzle” keragaman Nusantara
dalam kerangka Indonesia moderen yang jauh lebih manusiawi. Bangsa Indonesia
yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, sopan, halus dan
lembut mungkin akan sekedar menjadi kenangan masa lalu. Kebuntuan aspirasi yang
selama ini terjadi akibat sumbatan rejim Orde Baru seolah-olah diledakkan
sekaligus. Kenang-kenangan Indonesia yang damai, akan menajdi bagian yang
terpisahkan dari harapan sebagian besar bangsa kita. Namun, semuanya akan
benar-benar menjadi kenangan kolektif, bilama kita tidak menyadari perubahan
itu adalah keniscayaan sejarah dari rentetan pulau dan kehidupan Nusantara.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Situasi politik
di Indonesia saat ini mengalami gelombang naik turun. Tingkat partisipasi
masyarakat yang semakin diberikan tempat dan kesempatan untuk mengeluarkan pendapat
menimbulkan kritik masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat pengusaha. Kritik
yang ditujukan pada individu, kelompok, lembaga, maupun instansi pemerintah
dilakukan dengan berbagai cara, bentuk, dan penggunaan media.Persoalan politik
Indonesia sekarang menjadi suatu wacana terbuka yang dapat diikritisi oleh
masyarakat kalangan apapun.
Politik
Indonesia dewasa ini seperti sedang mendominasi wacana di media. Layaknya gula
yang sedang di kelilingi semut, seperti itulah media yang memberitakan kondisi politik
di Indonesia.
Saat ini
kondisi politik yang terjadi justru saling memperebutkan kekuasaan. Para
penjabat yang memiliki kekuasaan telah melupakan masyarakat. Janji – janji yang
dulu di buat justru di lupakan seiring dengan kursi kekuasaan yang di peroleh.
Seolah tidak menerima dengan kemenangan sang rival, maka berusaha mencari
kesalahan untuk dapat menggulingkan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan
datang. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca yaitu dalam
memahami situasi politik di Negara kita .
DAFTAR
PUSTAKA
Lev , Daniel S. Hukum Dan Politik Di Indonesia
Kesinambungan Dan Perubahan . Penerbit: LP3ES. Jakarta
Djahiri
A Kosasih, (2003), Politik kenegaraan dan
hukum,Lab PPkn
UPI BandungIsjwara
F, (1995), Pengantar Ilmu Politik,Bina
Cipta, Bandung.Kartono
Kartini,
(1996) Pendidikan Politik, Mandiri
Maju, Bandung
Post a Comment for "Situasi politik di Indonesia"