Tata kelola syariat Islam belum kaffah
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nanggroe
Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan seramoe mekkah (serambi mekkah). Nafas
islam begitu menyatu dalam adat budaya orang Aceh sehingga aktifitas budaya
kerap berazaskan islam. Contoh paling dekat adalah pembuatan rencong sebagai
senjata tradisional di ilhami dari Bismillah. Seni tari-tarian seudati konon
katanya berasal dari kata syahadatain, dua kata untuk meresmikan diri menjadi
pemeluk islam.
Saat
syariat islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun 2001, pro dan kontra
terus bermunculan sampai sekarang. Keterlibatan pemerintah dituding ada unsur
politik untuk memblokir bantuan Negara non muslim terhadap kekuatan GAM (
gerakan Aceh merdeka ). Nada-nada sinis kerap terdengar seperti “ pue payah
awak jawa jak peu islam tanyoe, ka dari jameun uroe jeh tanyoe ka islam”
(kenapa harus pemerintah pusat / jawa yang mengislamkan orang Aceh, sedari
zaman dulu Aceh adalah islam).
Lazimnya
bicara sejarah maka kita akan mengkaji 3 ( tiga) dimensi waktu keberadaan hokum
islam di bumi serambi mekkah ini. Masa dulu yaitu pada masa orde lama dan orde
baru. Sekarang ketika pemerintah melibatkan diri apa yang melatarbelakangi
penerapan syariat islam secara kaffah? Hokum apa saja yang di atur dalam
syariat islam? Seperti apa pola penerapannya agar menjadi awal masyarakat
bertingkah laku? Bagaimana perkembangannya sejak diterapkan tahun
2001-sekarang, baik dari segi perubahan yang terjadi dalam masyarakat setelah
syariat islam diterapkan maupun konstitensi lembaga yang berwenang untuk
menjalankan peraturan syariah yang sudah dicanangkan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan syariat islam?
2. Apakah
factor tata kelola syariat islam belum kaffah di Aceh saat ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syariat Islam
Syariat
( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk
kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul
( Muhammad Yusuf Musa,1998:131).
Menurut
Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) syariat islam secara harfiah adalah
jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap
muslum, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah
dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek
manusia.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan atau
hokum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia,
manusia dengan alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam AL-qur’an
maupun hadis dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat
manusia di dunia dan di akhirat.
B. Faktor Tata Kelola Syariat Islam
Belum Kaffah Di Aceh Saat Ini
Di
tengah tingginya tuntutan serta antusiasme masyarakat Aceh yang ingin
mengimplementasikan syariat Islam secara kaffah di Aceh, dinodai oleh
kepentingan segelintir kelompok yang menyelipkan peran Wali Nanggroe dalam
implementasi syariat Islam, persolannya karena peran yang diberikan tersebut
sangatlah krusial. Saat ini beberapa Qanun Aceh yang terkait dengan syariat
Islam sedang dalam proses finalisasi di antaranya Qanun Jinayat, Pokok-pokok
Syariat Islam, dan Bank Aceh Syariah. Pada akhir 2013 lalu juga telah disahkan
Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat.
Rancangan
Qanun (Raqan) Aceh tentang Pokok-pokok Syariat Islam mengatur mengenai
prinsip-prinsip dasar pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Oleh karena itu, raqan
tersebut akan menjadi payung hukum pelaksanaan syariat Islam. Setiap produk
hukum daerah yang terkait dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh harus
mengacu padanya, di samping Pasal 125-127 Undang-Undang No.11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dimana penyelengaraan syariat Islam merupakan
tanggung jawab daripada Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Domain adat-istiadat
Sementara
Lembaga Wali Nanggroe berada pada domain adat-istiadat sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 96 dan 97 UUPA. Begitu pula dalam Qanun Aceh tentang Lembaga Wali
Nanggroe yang tidak mengatur kewenangan penyelengaraan syariat Islam pada Wali
Nanggroe. Sekalipun tidak ada yang menyangkal bahwa Syariat Islam di Aceh
“menyatu” dengan adat-istiadat, namun dalam tata pemerintahan keduanya adalah
urusan yang berbeda.
Di
samping itu, fakta sosialnya bahwa ada resistensi masyarakat terhadap keduanya
di tengah pro dan kontra terhadap keberadaan Wali Nanggroe dan lembaganya,
mengapa bisa ikut dilibatkan dalam tata kelola syariat Islam? Hal ini,
tentunya, hanya akan menambah daftar polemik terhadap Wali Nanggroe, dan
syariat Islam ikut terseret dalam polemik tersebut.
Masih
kuat dalam ingatan kita bagaimana polemik uji baca Alquran bagi Calon Wali
Nanggroe, kemudian tuntutan terhadap Wali Nanggroe untuk menjadi Imam dan
Khatib, bahkan tidak sedikit pernyataan Wali Nanggroe yang dikutip oleh
berbagai media bahwa “syariat Islam bukan tuntutan rakyat Aceh”. Polemik
tersebut dilengkapi dengan prahara Partai Aceh yang tak kalah pelik, dimana
Wali Nanggroe juga ikut di dalamnya, sementara belum ada manfaat nyata yang
dirasa masyarakat terhadap peran Wali Nanggroe.
Rancangan
Qanun Aceh tentang Pokok-pokok Syariat Islam merupakan inisiatif dari Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dengan harapan bahwa Qanun ini akan menjadi hadiah
DPRA periode 2009-2014 yang akan selesai pada akhir September 2014 kepada
masyarakat Aceh yang merindukan implementasi syariat Islam secara kaffah. Jika
tidak ada perhatian dan protes oleh rakayat terhadap pelibatan Wali Nanggroe
dalam tata kelola syariat Islam, maka dapat dipastikan bahwa legislatif yang
dominan dan pimpinan eksekutif yang terhimpun dalam satu partai akan
melanggengkan Rancangan Qanun tersebut.
Dalam
Raqan Pokok-pokok Syariat Islam BAB III Tata Kelola Pelaksanaan syariat Islam,
Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Syariat Islam dilaksanakan secara terpadu dan
terkoordinasi pada setiap tingkatan pemerintahan di Aceh, di bawah arahan Wali
Nanggroe dan Pemerintah Aceh.” Tidak jelas apa yang mendasari para perumus
melibatkan Wali Nanggroe dalam tata kelola syariat Islam, apalagi sebagai
pengarah, sunguh sangat disayangkan semangat implementasi syariat Islam secara
kaffah dicederai oleh kepentingan segelintir orang.
Di
tengah sorotan publik internasional terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh,
bahkan dengan membangun stigma negatif terhadap pelaksanaan syariat Islam,
semestinya Pemerintahan Aceh fokus dalam penegakan syariat Islam dan
memperbaiki berbagai kekurangan maupun hambatan-hambatan yang ada. Sehingga
melibatkan Wali Nanggroe dalam tata kelola pelaksanaan syariat Islam di Aceh
hanya akan menuai polemik dan kekusutan persoalan baik syariat Islam maupun
lembaga Wali Nanggroe itu sendiri.
Pelaksanaan
syariat Islam yang merupakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Dinas Syariat
Islam sudah jelas disebutkan dalam UUPA berada di bawah koordinasi Gubernur
Aceh, sehingga tidak perlu lagi disandingkan dengan lembaga lain yang justru
akan menimbulkan dualisme koordinasi.
Hal
ini hanya akan memperpanjang dan mengaburkan rentan koordinasi, apalagi kedudukan
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang terdiri dari unsur ulama Aceh dan
Cendikiawan sudah berada di antara Pemerintah Aceh dan DPRA sebagai mitra kerja
(penyeimbang). MPU juga telah diberikan kewenangan serta tugas untuk menetapkan
fatwa maupun memberikan arahan dalam masalah keagamaan. Sehingga mestinya peran
MPUnya yang diperkuat bukan dengan memperluas kewenangan Lembaga Wali Nanggroe.
Begitupun
dalam konteks sejarah tata pemerintahan Aceh masa lalu, dimana kedudukan ulama
setara dengan kedudukan pemimpin (Sultan Aceh), adat bak Poteumeureuhom, hukum
bak Syiah Kuala. Sehingga mestinya posisi ulamalah yang disetarakan dengan
gubernur, bukan sebaliknya ditempatkan di bawah Wali Nanggroe. Oleh karenya
jangan lagi menambah kekusutan implementasi syariat Islam, maka secara tegas
dalam penormaan harus taat pada asas hukum. Cukuplah tata kelola pelaksanaan
syariat Islam berada di bawah arahan gubernur. Semuanya sudah jelas dan
terang-benderang, sehingga sungguh sangat tidak etis jika ikut menyelipkan
“kepentingan tertentu” dalam implementasi syariat Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
Raqan Pokok-pokok Syariat Islam BAB III Tata Kelola Pelaksanaan syariat Islam,
Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Syariat Islam dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi
pada setiap tingkatan pemerintahan di Aceh, di bawah arahan Wali Nanggroe dan
Pemerintah Aceh.” Tidak jelas apa yang mendasari para perumus melibatkan Wali
Nanggroe dalam tata kelola syariat Islam, apalagi sebagai pengarah, sunguh
sangat disayangkan semangat implementasi syariat Islam secara kaffah dicederai
oleh kepentingan segelintir orang.
Pelaksanaan
syariat Islam yang merupakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Dinas Syariat
Islam sudah jelas disebutkan dalam UUPA berada di bawah koordinasi Gubernur
Aceh, sehingga tidak perlu lagi disandingkan dengan lembaga lain yang justru
akan menimbulkan dualisme koordinasi.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka
penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,zakaria.1973. Sejarah Indonesia Jilid II. Medan: monora.
Abu Bakar.
Al yasa’.2004. Bunga Rampai Pelaksanaan
Syariat Islam (Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam). Dinas syariat
islam : Banda Aceh.
Abu Bakar.
Al yasa’.2006. Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam-Paradigma, Kebijakan Dan Kegiatan. Dinas syariat islam:
Banda aceh.
Musa,
Muhammad yusuf.1988. Islam: Suatu
Kajian Komprehensif. Jakarta: rajawali press.
Nurhafni
dan maryam.2006. Pro Dan Kontra Penerapan Syariat Islam Di Nad. SUWA IV (3):59-66
Post a Comment for "Tata kelola syariat Islam belum kaffah"