Hukum perikatan
Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan
dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak
hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek
hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan
kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis
mereka ke dalam sebuah perikatan.
Dalam pembahasan ini, pemakalah berusaha memjelaskan
melalui makalah sederhana ini tentang Pokok-pokok Hukum Perikatan yang dalam
KUHPerdata sendiri diatur di buku III.
B.
Rumusan
Masalah
2. Apa saja Unsur-Unsur Hukum Perikatan ?
5.
Bagaiman Dasar Hukum Perikatan ?
6.
Apa saja Azas-Azas Hukum Perikatan ?
1.
Pengertian Perikatan
Perikatan
adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”.
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain.
Hal yang mengikat itu adalah pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan,
misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran,
kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah
bersusun. Pristiwa hukum itu menciptakan hubungan hukum[1].
Dalam
hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik.
Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang
berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi[2].
Dari uraian
diatas dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum. Hubungan
hukum itu timbul karena adanya pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan,
kejadian, keadaan. Objek hubungan itu adalah harta kekayaan yang dapat dinilai
dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, dan pihak
yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Dengan demikian dapat
dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang
terjadi antara kreditur dan debitur[3].
2.
Pengaturan Hukum Perikatan
Perikatan
diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi
karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi bagian
umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I,
Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi
perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan
1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi
perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam
bab-bab bersangkutan.
Pengaturan
nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap orang boleh mengadakan
perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum
ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal,
yaitu :
a.
Tidak dilarang Undang-Undang
b.
Tidak bertentangan dengan
ketertiban umum
c.
Tidak bertentangan dengan
kesusilaan
Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka
pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena
perjanijian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber peikatan
adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan
yang terjadi karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang
terjadi semata-mata karena ditentukan dalam Undang-Undang dan perikatan yang
terjadi karena perbuatana orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang,
dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad).
3.
Prestasi dan Wanprestasi
Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh
debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum
perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan
debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan
debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Namun,
jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu
yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada
tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu:
a. Memberikan sesuatu, misalnya, menyerahkan benda, membayar harga benda,
dan memberikan hibah penelitian.
b.
Melakukan sesuatu, misalnya,
membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut barang tertentu, dan menyimpan
rahasia perusahaan.
c. Tidak melakukan sesuatu, misalnya, tidak melakukan persaingan curang, tidak
melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian
memberikan sesuatu, yaitu menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari
debitor kepada kreditor atau sebaliknya,
misalnya, dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang piutang.
Dalam perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib melakukan
perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya, melakukan
perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan tersebbut, debitor arus mematuhi semua ketentuan
dalam perikatan. Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai
dengan ketentuan perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan
sesuatu”, debitor tidak melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam
perikatan, misalnya, tidak membuat tembok rumah yang tinggi sehingga
menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitor melakukan pembuatan tembok
yang berlawanan dengan perikatan ini, dia bertanggung jawab karena melanggar
perjanjian dan harus membongkar tembok atau membayar ganti kerugian kepada
tetangganya.
Sebagian besar perikatan yang dialami dalam
masyarakat terjadi karena perjanjian. Karena itu, Undang-Undang mengatur bahwa
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak
yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt). Artinya, jika salah satu pihak
tidak bersedia memenuhi prestasinya, kewajiban berprestasi itu dapat
dipaksakan.
Jika pihak yang satu tidak memenuhi prestasinya, pihak
yang lainnya berhak mengajukan gugatan ke muka pengadilan dan pengadilan akan
memaksakan pemenuhan prestasi tersebut dengan menyita dan melelang harta
kekayaannya sejumlah yang wajib dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang diakui dan diberi akibat hukum itu adalah perjanjian yang tidak
dilarang Undang-Undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan masyarakat. Karena itu, ada tiga sumber perikatan, yaitu perjanjian,
Undang-Undang, serta ketertiban umum dan kesusilaan[4].
Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban
yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor
karena dua kemungkinan alasan, yaitu:
a.
Karena kesalahan debitor, baik
karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b.
Karena keadaan memaksa (force majeure, diluar kemampuan
debitor.Jadi, debitor tidak bersalah.
Untuk
menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu
ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a.
Debitor tidak memnuhi prestasi
sama sekali;
b.
Debitor memenuhi prestasi,
tetapi tidak baika atau keliru; dan
c.
Debitor memenuhi prestasi,
tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan
wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka
waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam hal
tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu
memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi. Dalam hal telah ditentukan
tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPdt debitor dianggap lalai
dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitor supaya dia
memenuhi prestasinya? Debitor perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya
menyatakan bahwa debitor wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan.
Jika dalam waktu itu debitor tidak memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai
atau wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi
dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan
melalui pengadilan negeri yang berwenang, yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri dengan perantaraan juru sita
menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitor yang disertai berita
acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi, misalnya, melalui surat
tercatat, telegram, faksimile, atau disampaikan senidri oleh kreditor kepada
debitor dengan tanda terima. Surat peringatan ini disebut ingebreke stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan
wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a.
Debitor diwajibkan membayar
ganti kerugian yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243 KUHPdt).
b.
Apabila perikatan itutimbal
balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui
pengadilan (Pasal 1266 KUHPdt)
c. Perikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak
terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt)
d. Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt)
e. Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan
negeri dan debitor dinyatakan bersalah[5].
4.
Keadaan Memaksa (Overmacht)
Keadaan
memaksa (force majeure) adalah
keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang
tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat
perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor tidak dapat
disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor[6].
5.
Ganti Rugi
Ganti
kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain. Untuk
melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor,
Undang-Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar
oleh debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi). Kerugian yang harus
diabayar oleh debitor hanya meliputi:
a.
Kerugian yang dapat diduga
ketika membuat perikatan
b.
Kerugian sebagai akibat
langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitor
c.
Bunga dalam hal terlambat
membayar sejumlah utang.
B. Unsur-Unsur Hukum Perikatan
· Unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan adalah hubungan yang didalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan pada pihak lainnya melekat kewajiban. Hubungan hukum dalam hukum perikatan merupakan hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum itu sendiri. Tentu saja antara hubungan hukum dan hubungan sosial lainnya dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengertian yang berbeda, oleh karena hubungan hukum juga memiliki akibat hukum apabila dilakukan pengingkaran terhadapnya.
· Unsur kekayaan
Yang dimaksud dengan unsur kekayaan dalam hukum perikatan adalah kekayaan yang dimiliki oleh salah satu atau para pihak dalam sebuah perikatan. Hukum perikatan itu sendiri merupakan bagian dari hukum harta kekayaan atau vermogensrecht dimana bagian lain dari hukum harta kekayaan kita kenal dengan hukum benda.
· Unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan adalah pihak kreditur dan pihak debitur yang memiliki hubungan hukum. Pihak-pihak tersebut dalam hukum perikatan disebut sebagai subyek perikatan.
· Unsur obyek hukum atau prestasi
Yang dimaksud dengan unsur obyek hukum atau prestasi dalam hukum perikatan adalah adanya obyek hukum atau prestasi yang diperikatkan sehingga melahirkan hubungan hukum. Dalam pasal 1234 KUH Perdata disebutkan bahwa wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
· Unsur Schuld dan Unsur Haftung
Yang dimaksud dengan unsur schuld adalah adanya hutang debitur kepada kreditur. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur haftung dalam hukum perikatan adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan hutang debitur.
1.
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan
bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di
kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk
memperjanjikan bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang
belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya
suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende
voorwaarde).[7] Menurut
Pasal 1253 KUHperdata tentang perikatan bersyarat “suatu perikatn adalah
bersyarat mankala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang
dan yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga
terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan menurut terjadi
atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
Pasal ini
menerangkan tentang perikatan bersyarat yaitu perikatan yang lahir atau
berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi
belum tentu akan terjadi atau belum tentu kapan terjadinya. Berdasarkan pasal
ini dapat diketahui bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua, yakni:
·
Perikatan dengan syarat tangguh.
·
Perikatan dengan syarat berakhir.
a.
Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi,
maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHpdt). Sejak peristiwa itu terjadi,
keawjiban debitor untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya, A setuju
apabila B adiknya mendiami paviliun rumahnya setelah B menikah. Nikah adalah
peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya
menangguhkan pelaksanaan perikatan, jika B nikah A wajib menyerahkan paviliun
rumahnya untuk didiami oleh B.
b.
Perikatan dengan syarat batal
Perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila
“peristiwa” yang dimaksud itu terjadi (pasal 1265 KUHpdt). Misalnya, K seteju
apabila F kakaknya mendiami rumah K selam dia tugas belajar di Inggris dengan
syarat bahwa F harus mengosongkan rumah tersebut apabila K selesai studi dan
kembali ketanah air. Dalam contoh, F wajib menyerahkan kembali rumah tersebut
kepada K adiknya.[8]
2.
Perikatan Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)
Maksud syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa
pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang
ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya sudah
pasti, atau berupa tanggal yang sudah tetap. Contonya:”K berjanji pada anak
laki-lakinya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang
sedang dikandung isterinya itu telah dilahirkan”. Menurut KUHperdata pasal 1268
tentang perikatan-perikatan ketetapan waktu, berbunyi “ suatu ketetapan
waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaanya”. Pasal ini menegaskan bahwa ketetapan waktu tudak
menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi hanya menangguhkan pelaksanaanya.Ini
berarti bahwa perjajian dengan waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir,
hanya saja pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan.[9]
3.
Perikatan mana suka (alternatif)
Pada perikatan mana suka objek prestasinya ada dua
macam benda. Dikatan perikatan mana suka keran dibitur boleh memenuhi presatasi
dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun,
debitur tidak dapat memaksakan kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu
dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari
dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan
berakhir. Hak milik prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara
tegas diberikan kepada kreditor.[10]
4.
Perikatan tanggung menanggung atau
tanggung renteng (hoofdelijk atau solidair)
Ini adalah suatu perikatan diaman beberapa orang
bersama-sam sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang
menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu
piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit
sekali terdapat dalam praktek. Bebrapa orang yang bersama-sama mengahadapi
orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk
membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka
pemabayaran ini juga membaskan semua temen-temen yang berhutang. Itulah yang
dimaksud suatu periktan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua A dan B secara
tangggung-menanggung berhutang Rp. 100.000, kepada C maka A dan B masing-masing
dapat dituntut membayar Rp. 100.000.[11]
5.
Perikatan yang dapat dibagi dan
perikatan yang tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dapat dikatakan dapat dibagi atau
tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak
dapat dibagi menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi
hakikat dari prestasi tersebut. Persoalan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi
itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari seorang
debitor atau lebih dari sorang kreditor. Jika hanya seorang kreditor perikatan
itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi.
6.
Perikatan dengan penetapan hukuman (strabeding)
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah
saja melaikan kewajibannya dalam praktek banyak dipakai perjanjian diamana
siberhutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak menepati janjinya. Hukuman
itu, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya
merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri
oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Menurut pasal 1304 tentang
mengenai perikatan-perikatan dengan ancaman hukuman, berbunyi “ anman
hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk
imbalan jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu
manakala perikatan itu tidak dipenuhi”.[12]
Menurut Ketentuan pasal 1381
KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Kespeluh cara tersebut
diuraikan satu demi satu berikut ini :
1.
Pembayaran
Yang dimaksud dengan
pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi
juga penyerahan suatu benda. Dalam hal objek perikatan adalah pembayaran uang
dan penyerahan benda secara timbal balik, perikatan baru berakhir setelah
pembayaran uang dan penyerahan benda.
2.
Penawaran Pembayaran Tunai
Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan
penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries, kemudian kreditor menolak
penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian debitor menitipkan
pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan
demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ).
3.
Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan utang terjadi dengan
cara mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru.
Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru, terjadilah penggantian objek
perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal
terjadi penggantian orangnya (subyeknya), maka jika debitornya yang diganti,
pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif Pasif” jika kreditornya yang diganti,
pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama
lenyap.
4.
Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang
apabila utang piutang debitor dan kreditor secara timbal balik dilakukan
perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang lama lenyap.
5.
Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436
KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan
debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum.
Pada pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.
6.
Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi
apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari
debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan
pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus.
7.
Musnahnya benda yang terutang
Menurut
ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek
perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena
kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah
ditentukan; perikatan menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang
memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah
atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri itu)
untuk mengganti harganya.
8.
Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320
KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi syarat-syarat subjektif.
Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak wenang melakukan perbuatan
hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable).
9.
Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini
adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui oleh kedua pihak, syarat
tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (nietig, void) sehingga perikatan
menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat
batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal dipulihkan
dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perkatan.
10. Lampau Waktu
(Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH
Perdata, lampau waktu adalah alat untuk memperolah sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang.
E. Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia
adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi
lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia.
Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang
menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum[14].
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat
tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.
Perikatan yang timbul dari
persetujuan (perjanjian)
2.
Perikatan yang timbul dari
undang-undang
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan
perwakilan sukarela (zaakwaarneming)
Sumber perikatan berdasarkan
undang-undang :
1.
Perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata) :
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
2.
Persetujuan (Pasal 1313 KUH Perdata)
: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.
Undang-undang (Pasal 1352 KUH
Perdata) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang
atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
F. Azas-Azas Hukum Perikatan
1.
Asas Konsensualisme
Asas
konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt. Pasal 1320
KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
1)
Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya
2)
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian
3)
suatu hal tertentu
4)
suatu sebab yang halal.
Pengertian
kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui
antara pihak-pihak Asas-Asas Hukum Perikatan
2.
Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta
sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1)
KUHPdt[15]:
1)
Perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang”
2)
Para pihak harus menghormati
perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas
para pihak Asas-Asas Hukum Perikatan
3.
Asas Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338
KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang
bagi mereka yang membuatnya” Ketentuan tersebut memberikan kebebasan parapihak
untuk :
1)
Membuat atau tidak membuat
perjanjian;
2)
Mengadakan perjanjian dengan
siapapun;
3)
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
dan persyaratannya;
4)
Menentukan bentuk perjanjian, yaitu
tertulis atau lisan.
Di samping
ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan
nasional, yaitu :
1. Asas
kepercayaan;
2. Asas
persamaan hukum;
3. Asas
keseimbangan;
4. Asas
kepastian hukum;
5. Asas
moral;
6. Asas
kepatutan;
7. Asas
kebiasaan;
8. Asas
perlindungan;
A.
Kesimpulan
1.
Prestasi adalah sesuatu yang wajib
dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan.
Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta
kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta
kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor.
2.
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada
syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum
pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi
peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi
peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt).
3.
Menurut Ketentuan pasal 1381
KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Yaitu : pembayaran,
penawaran, pembayaran tunai diikuti penitipan, pembayaran utang, perjumpaan
utang, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya benda yang terutang,
karena pembatalan, berlaku syarat batal dan lampau batas.
Muhammad, Abdulkadire, ”Hukum Perdata Indonesia”,
Penerbit PT . Citra Adytia Bakti,Bandung,1993.
Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta :
PT. Intermasa, cet 31, 2001.
Miru, Amadi dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN :
Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Muhammad, Abdulkadir, HUKUM PERDATA INDONESIA,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2010.
Ali, Chidir, 1984, Yurisprudensi Hukum Perdata Indonesia (Jilid I),
Bandung: CV Armico.
[1]
Abdulkadire Muhammad, ”hukum perdata indonesia”, Penerbit PT . Citra Adytia
Bakti,Bandung,1993. Hal 198.
[4]
Ibid, hal 202
[5]
Ibid hal 205
[7]
Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa,
cet 31, 2001, hlm 128
[8]
Op.cit. Abdulkadir Muhammad, hal. 249.
[9]
Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233
samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 31.
[10]
Op.cit. Abdulkadir Muhammad, hal. 250-251.
[11]
Op.cit, Subekti, hal. 130
[12]
Op.cit. Amadi Miru dan Sakka Pati, hal. 55.
[13]
Op.cit. Abdulkadir Muhammad, hal 218.
Post a Comment for "Hukum perikatan"