Perkembangan Tasy'i dalam negara islam dan pendapat ulama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam memiliki banyak ilmu yang
sangat menarik untuk dikaji, salah satunya yakni fiqih Islam. Dalam fiqih Islam
materi-materinya diambil dari al-Qur'an al-Karim, sabda-sabda dan perbuatan
Rasulullah SAW yang menjelaskan al-Qur'an dan menerangkan maksud-maksudnya.
Itulah yang dikenal dengan as-Sunnah. Selain itu fiqih Islam juga mengambil
materi dari pendapat para fuqaha'. Pendapat-pendapat itu meskipun bersandar
kepada al- Qur'an dan as-Sunnah namun merupakan hasil pemikiran yang telah
terpengaruh oleh pengaruh yang berbeda-beda sesuai dengan masa yang dialami dan
pembawaan-pembawaan jiwa (naluri) bagi setiap faqih.
Perkembangan Hukum Islam tidak dapat
dipungkiri dewasa ini, hal ini disebabkan semakin berkembangnya pengetahuan dan
tekhnologi sehingga syariat Islam senantiasa berkesusaian dengan perkembangan
zaman tersebut. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa perkembangan tersebut
merupakan salahsatu faktor penyebab perbedaan pendapat diantara kalangan para
ahli dalm bidangnya, dan tidak jarang pula saling menghujat dan saling
menjatuhkan untuk sebuah pendapat yang diyakininya.
Berdasarkan hal tersebut, maka
dengan memahami secara mendalam dan kaaffah tentang hukum Islam setidaknya akan
mengurangi bahkan meniadakan pertentangan yang dapat memecah belah persatuan
umat Islam, karena memang perbedaan pendapat adalah rahmat dan perpecahan akan
membawa kepada murka Allah dan akan memudahkan umat Islam diadu domba oleh
kalangan yang tidak senang terhadap Islam yakni umat Yahudi dan Nashroni.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana pendapat para ulama
tasryi’ I di Asia Tenggara?
2. Bagaimana Perkembangan tasryi’ I di
Malaysia?
3. Bagaimana Perkembangan tasryi’ I di
Brunai Darussalam?
4. Bagaimana Perkembangan tasryi’
I di Filipina?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tarikh Tasyri’
Kata
tarikh berasal dari kata ta’rikh dengan kata kerja (fi’il) arrakha yang berarti
menentukan waktu terjadinya sesuatu. Kata ini terkadang juga digunakan untuk
menunjukkan waktu terjadinya sesuatu, mencakup semua kejadian yang terjadi pada
waktu itu dalam berbagai keadaan. Sedangkan kata tasyri’ adalah bentuk masdar
dari kata kerja syarra’a yang berarti membuat syariat. Sedangkan menurut
terminologi fuqaha’ kata syariat dipakai untuk menjelaskan tentang hukum-hukum
yang telah ditetapkan Allah kepada hambanya melalui lisan seorang Rasul[1].
Pengertian tasyri’
dari segi terminologi adalah: Penetapan peraturan, penjelasan hukum-hukum, dan
penyusunan perundang-undangan.
Tasyri’
tampaknya lebih merupakan istilah teknis tentang proses pembentukan fiqih atau
peraturan perundang-undangan. Didalamnya tercakup produk dan proses pembentukan
fiqih atau peraturan perundang-undangan. Dalam mengkaji dasar-dasar fiqih
(al-quran dan as-sunah) kita akan mendalami proses pembentukan al-quran dan as-sunah.
Ketika mengkaji pendapat atau peraturan perundang-undangan, kita akan mendalami
proses pembentukannya. Selain itu, kajian tentang langkah-langkah ijtihad para
ulama pun menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Muhammad
Ali Al-Sayyis menjelaskan bahwa yang dimaksud Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami
adalah:
Ilmu
yang membahas keadaan hukum islam pada keadaan jaman rasul dan sesudahnya
dengan uraian dan periodisasi, yang padanya hukum itu berkembang, serta
membahas ciri-ciri spesifiknya, keadaan fukaha, dan mujtahid dalam merumuskan
hukum itu.
Sedangkan
menurut Rasyad Hasan Khalil dalam bukunya tarikh tasyri’ menyebutkan bahwa yang
dimaksud tarikh tasyri’ adalah ilmu yang membahas tentang kondisi fiqih islam
pada zaman Rasulullah SAW dan seterusnya, dengan menentukan fase-fase
perkembangan sumber-sumber dan hukumnya, menjelaskan setiap perubahan yang
terjadi berupa nash (amandemen), takhshih (penghususan), dan tafri’
(penjabaran). Ilmu tarikh tasyri’ juga menkaji tentang kondisi para fuqaha’
pada setiap fase (marhalah), menelaah metodologi mereka dalam menetapkan sebuah
hukum serta warisan keilmuan dan ijtihad yang terhimpun dalam fiqih islam.
B. Pendapat para ulama tentang Tasyri’
I di Asia Tenggara
Ada beberapa
pendapat tentang masuknya islam ke Asia Tenggara. Yang pertama pendapat
orang-orang Eropa dan yang kedua pendapat sejarawan arab dan muslim. Pendapat
sebagaian besar sejarawan Eropa secara mutlak berpegang pada apa yang
disebutkan oleh pengembara Italia Marcopolo bahwa masuknya Islam ke Asia
Tenggara adalah pada abad ke tiga belas masehi di sebelah utara pulau Sumatera
dan mereka membatasi pendapat mereka pada perjalanan Marcopolo ini ke daerah
tersebut pada 1292 M.
Adapun beberapa
pendapat sejarawan Arab dan muslim tentang sejarah Asia Tenggara sebagai berikut:
1. Muhammad Dhiya’Syahab dan abdullah
bin Nuh dari indonesia mengatakan:
“Banyak buku-buku sejarah dari barat
dan orang-orang yang mengikutinya yang mengira bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke tiga belas Masehi. Tetapi saya berkeyakinan bahwa masuknya
Islam ke Asia Tenggara jauh sebelum masa yang diduga
oleh orang-orang asing itu dan para pengikut mereka.”
2. Mufti
kesultanan Johor, Malaysia syarif Alwi bin Thohir Al Haddad mengatakan:
“Pendapat-pendapat para sejarawan tentang
masuknya Islam ke Asia Tenggara adalah tidak tepat. Terutama pendapat sejarawan
Eropa yang menetapkan utama pendapat sejarawan Eropa yang menetapkan masuknya
Islam ke Jawa pada tahun 800-1300 H, di sumatera dan malaysia pada abad ke 7
Hijriah. Kenyataan yang benar bertentangan dengan apa yang mereka katakan.
Karena sesungguhnya Islam telah mempunyai raja-raja di Sumatera pada abad ke
enam bahkan ke lima Hijriah.”
3. Dr. Muhammad
Zaitun mengatakan :
“Walaupun
para sejarawan menyebutkan masuknya islam ke Malaysia pada abad ke enam Hijriah
(abad kedua belas Masehi), pendapat yang lebih kuat adalah islam telah masuk
kesana jauh sbelum itu. Mungkin tahun yang telah disebutkan oleh mereka hanya
menjelaskan catatan – catatan sejarah (prasasti) yang sampai kepaanya sesudah
pemerintah wilayah – wilayah tersebut memeluk agama islam dan terbentuk
kesulthanan – keshultanan islam didaerah tersebut. Di Malaysia wilayah kedah
adalah wilayah yang paling cepat memeluk islam”.
C. Perkembangan
Tasryi’ I di Malaysia
Malaysia adalah negara yang berdiri
pada 31 agustus 1957 yang dipimpim oleh perdana menteri pertamanya Tengku
Abdul Rahman. Malaysia adalah merupakan negara federasi yang terdiri dari 13
negara bagian dengan ketentuan 11 di semenanjung Malaysia dan 2 lagi di pulau
kalimantan, negara ini juga merupakan negara bekas jajahan inggris yang
penduduknya meliputi campuran aneka latar belakang, warna kulit, suku bangsa
dan budaya. Jumlah penduduknya terdiri dari 16.500.000 jiwa yang separuh lebih
masyarakatnya beragama islam yang berlatar belakang melayu[2].
Implementasi hukum Islam di
Malaysia, tampak dari kodifikasi yang dilakukan yang telah melewati tiga fase,
yaitu:
1. Periode Melayu
Kodifikasi
hukum paling awal termuat dalam prasasti Trengganu yang di tulis dalam
aksara Jawi, memuat daftar singkat mengenai sepuluh aturan dan bagi siapa yang
melangarnya akan mendapat hukuman. Selain kodifikasi hukum tersebut, juga
terdapat buku aturan hukum yang singkat, salah satu diantaranya adalah Risalah
Hukum Kanun atau buku Hukum Singkat Malaka yang memuat aturan Hukum
Perdata dan Pidana Islam.
2. Periode penjajahan Inggris
Pada
fase penjajahan Inggris, posisi hukum Islam sebagai dasar negara berubah.
Administrasi hukum Islam dibatasi pada hukum keluarga dan beberapa masalah
tentang pelanggaran agama.
3. Periode kemerdekaan
Pada
fase awal kemerdekaan Malaysia, pengaruh serta pakar hukum Inggris masih begitu
kuat, namun di beberapa negara bagian telah diundangkan undang-undang baru
mengenai administrasi hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
pendasaran konstitusi serta wewengan pada Majelis Agama Islam, Departemen
Agama, dan Pengadilan Syari’ah.
Pada
dekade 80-an telah diupayakan perbaikan hukum Islam di berbagai negara bagian.
Untuk itu, sebuah konferensi nasional telah diadakan di Kedah untuk
membicarakan hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pidana.
Maka dibentuklah sebuah komite yang terdiri dari ahli hukum Islam dan anggota
bantuan hukum, kemudian mereka dikirim ke berbagai negara Islam untuk
mempelajari hukum Islam dan penerapannya di negara-negara tersebut. Sebagai
wujud perhatian pemerintah federal kepada hukum Islam, maka pada saat yang sama
dibentuk beberapa komite diantaranya bertujuan untuk menelaah struktur,
yuridiksi, dan wewenang Pengadilan Syari’ah dan merekomendasikan pemberian
wewenang dan kedudukan yang lebih besar kepada hakim Pengadilan Syaria’ah,
mempertimbangkan suatu kitab UU hukum keluarga Islam yang baru guna mengantikan
yang lama sebagai penyeragaman UU di negara-negara bagian. Dan salah satu
komite juga mempertimbangkan proposal adaptasi hukum acara pidana dan
perdata bagi Pengadilan Syari’ah.
Pada dasarnya hukum Islam di Malaysia, ada yang menyangkut persoalan
perdata dan ada yang menyangkut persoalan pidana.
Dalam bidang perdata meliputi :
1. Pertunangan,
nikah cerai, membatalkan nikah atau perceraian.
2. Memberi
harta benda atau tuntutan terhadap harta akibat perkara di atas.
3. Nafkah orang
di bawah tanggungan, anak yang sah, penjagaan dan pemeliharaan anak.
4. Pemberian
harta wakaf.
5. Perkara lain
yang diberikan kuasa berdasarkan undang-undang.
Dalam persoalan pidana mengatur hal
sebagai berikut:
1. Penganiayaan
terhadap istri dan tidak patuh terhadap suami.
2. Melakukan
hubungan seks yang tidak normal.
3. Penyalah-gunaan
minuman keras.
4. Kesalahan
terhadap anak angkat.
5. Kesalahan-kesalahan
lain yang telah diatur lebih jauh dalam undang-undang.
Walaupun
beberapa masalah telah diatur dalam hukum Islam di Malaysia, namun hukum
Inggris tetap diberlakukan pada sebagian besar legislasi dan yudisprudensi. UU
Hukum Perdata 1956 menyebutkan bahwa jika tidak didapatkan hukum tertulis di
Malaysia, Pengadilan Perdata harus mengikuti hukum adat Inggris atau
aturan lain yang sesuai. Dengan demikian hukum Islam hanya berlaku pada wilayah
yang terbatas, yaitu yang berhubungan dengan keluarga dan pelanggaran agama.
Dalam hukum keluarga, pengadilan perdata tetap memiliki yuridiksi, seperti
dalam kasus hak milik, warisan, serta pemeliharan anak. Bila terdapat
pertentangan antara pengadilan perdata dan syari’ah, maka kewenagan peradilan
perdata lebih diutamakan. Melihat kenyataan tersebut di atas, eksistensi hukum
Islam di Malaysia sesungguhnya belum berlaku secara menyeluruh terhadap semua
penduduk negara tersebut. Hal ini karena masih adanya pengaruh hukum koloni
Inggris yang pernah menjajah Malaysia.
D. Perkembangan
Tasryi’ I di Brunai Darussalam
Masuknya
Islam ke Brunei sejalan dengan masuknya Islam ke Nusantara,dan setidak-tidaknya
terjadi setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511 M. Sebelum datangnya
Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam
yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut
sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang
disempurnakan oleh Jalilul jabbar (1619-1652 M)[3].
Pemberian
kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah
ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat aturan :
1. Bidang kuasa
sivil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk mengendalikan kes rakyat,
kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain
jika mendapat persetujuan kerajaan negara mereka.
2. Bidang kuasa
untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam
kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam
sesuatu kes tersebut, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa
maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan.
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah adanya
perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa
mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam urusan per-Uuan,
Pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan kecuali
dalam perkara-perkara agama Islam.
Perlu diketahui di Brunei Darussalam terjadi perjanjian kurang lebih
sekitar lima perjanjian yaitu:
1. Perjanjian
pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya untuk
memajukan hubungan dagang dan penumpasan para pembajak.
2. Perjanjian
kedua pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara brunei berada dibawah proteksi
Inggris Raya.
3. Perjanjian
pada tahun 1856 intervensi Inggris dalam tulisan hukum Brunei (intervensi)
4. Perjanjian
pada tahun 1888 tentang bidang kekuasaan kehakiman di Brunei (pembagian
kekuasaan kehakiman dengan pihak Inggris)
5. Perjanjian
pada tahun 1906 tentang kekuasaan dalam bidang hukum (kekuasaan intervensi
perundangan-undangan, pentadbiran keadilan, dan kehakiman, masalah negara dan
pemerintahan)
Perjanjian-perjanjian tersebut menimbulkan efek yang sangat jelas bagi
perkembangan hukum di negara Brunei. Brunei Darussalam memiliki kekuasaan
kehakiman yang terpisah yaitu kekuasaan kehakiman Inggris dan kekuasaan kehakiman
Brunei. Sungguh mengherankan bukan suatu negara mempunyai kekuasaan kehakiman
yang lain disamping kekuasaan kehakiman Brunei. Disamping itu pula Inggris
mempunyai kekuasaan untuk intervensi dalam urusan perundang-undangan kehakiman
masalah negara terkecuali perkara-perkara agama islam. Terlihat jelas sekali
bahwa perjanjian-perjanjian dengan pihak Inggris banyak berdampak negatif yaitu
merugikan bangsa Brunei dalam hal mereka sebagai bangsa yang ingin
merdeka.faktor-faktor yang menyebabkan Brunei selalu terposok atau tersudut
dalam perjanjian kemungkinan karna lemahnya sultan dalam menghadapi
tekanan-tekanan Inggris dan juga lemahnya pengetahuan strategis politik
sehingga terjadi ketidak adilan dalam pembagian kekuasaan. Seperti pada petisi
yang diajukan pada Kesultanan Brunei kepada seluruh Jaya British pada 2 Juli
1986 dimana petisi itu berisi dua tuntutan dari kedua petisi hanya masalah
nomor satu yang disetujui oleh Inggris dan tidak dilanjuti dengan mengembangkan
Mahkamah Syari'ah sedangkan yang kedua ditolak karena isinya bertentangan
dengan isi perjanjian tahun 1906. Mahkamah syari'ah Bunei hanya dibenarkan
melaksanakan Undang-undang Islam yang berkaitan denagn perkara-perkara kawin,
cerai, dan ibadah (khusus). Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayah
diserahkan kepada Undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.
Untuk seterusnya peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus-menerus
mengalami perombakan.
E. Perkembangan
Tasryi’ I di Filiphina
Filipina
adalah negara kepulauan dengan 7.107 buah pulau. Penduduknya yang berjumlah 47
jiwa menggunakan 87 dialek bahasa yang berbeda-beda yang mencerminkan banyaknya
suku dan komunitas entis. Kodifikasi syariah yang sistematis
telah dimulai sejak tahun empat puluhan untuk diterapkan dalam masyarakat Islam
di empat provinsi selatan[4].
Kodifikasi tersebut sekarang telah tercakup dalam Undang-Undang Sipil Thailand
yang berkenaan dengan keluarga dan warisan. Dalam hal ini, kandungan syariah
bersifat inklusif untuk mengadili kasus di antara umat Islam. Bagaimanapun,
seluruh sistemnya berkaitan langsung dengan fiqih Syafi'i. karena mayoritas
masyarakat Muslim Thailan menganut mazhab ini. Pertentangan antara orang Islam
yang menganut mazhab yang berbeda tidak dapat diselesaikan oleh sistem
peradilan yang ada, karena yang digunakan hanyalah yang telah sah
dikodifikasikan, meskipun Dato Yuttitham sendiri mampu mengatasinya. Suatu
kodifikasi yang sistematis dan penerapannya yang inklusif di Thailand pasti
akan menguntungkan umat Islam, sekaligus seluruh masyarakat.
Dalam mengkaji "Ajuan UU tentang
Administrasi UU Islam 1974" yang dipersiapkan oleh Staf Riset dan juga
dalam rancangan tentang "Kitab UU Perseorangan Muslim Filipina",
kerja Komite diarahkan berdasarkan kriteria sebagai berikut[5]:
1. Mengenai sistem hukum Islam, yang
dipertimbangkan merupakan sebuah sistem yang lengkap yang terdiri dari hukum
perdata, pidana, perdagangan, politik, internasional, serta agama, hanya yang
secara benar-benar bersifat pribadilah yang dikodifikasi.
2. Hukum perorangan memasukkan tindakan
serta praktik yang diwajibkan oleh hukum Islam. Sementara itu, sesuatu yang
dilarang serta membutuhkan hukuman tak bersyarat tetap berstatus larangan.
3. Jika aturan hukum mengenai suatu
masalah dirasa terlalu rumit, maka hanya prinsip umumnya yang dicantumkan.
Adapun rincian dari aturan tersebut diserahkan kepada hakim untuk menjabarkan
secara tepat.
4. Tidak ada aturan dalam bentuk apa
pun untuk dimasukkan ke dalam UU jika hal itu bertentangan dengan Konstitusi
Filipina.
5. Tidak ada aturan yang harus
dimasukkan, kecuali hal itu didasarkan pada prinsip hukum Islam yang telah
dikemukakan oleh empat mazhab fiqih.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata
tarikh berasal dari kata ta’rikh dengan kata kerja (fi’il) arrakha yang berarti
menentukan waktu terjadinya sesuatu. Kata ini terkadang juga digunakan untuk
menunjukkan waktu terjadinya sesuatu, mencakup semua kejadian yang terjadi pada
waktu itu dalam berbagai keadaan. Sedangkan kata tasyri’ adalah bentuk masdar
dari kata kerja syarra’a yang berarti membuat syariat. Sedangkan menurut
terminologi fuqaha’ kata syariat dipakai untuk menjelaskan tentang hukum-hukum
yang telah ditetapkan Allah kepada hambanya melalui lisan seorang
Rasul.Pengertian tasyri’ dari segi terminologi adalah: Penetapan peraturan,
penjelasan hukum-hukum, dan penyusunan perundang-undangan.
Tasyri’
tampaknya lebih merupakan istilah teknis tentang proses pembentukan fiqih atau
peraturan perundang-undangan. Didalamnya tercakup produk dan proses pembentukan
fiqih atau peraturan perundang-undangan. Dalam mengkaji dasar-dasar fiqih (al-quran
dan as-sunah) kita akan mendalami proses pembentukan al-quran dan as-sunah.
Ketika mengkaji pendapat atau peraturan perundang-undangan, kita akan mendalami
proses pembentukannya. Selain itu, kajian tentang langkah-langkah ijtihad para
ulama pun menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan
untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sayyis,
Muhammad Ali, Tarikh Al-Fiqhu Al-Islami, 1957
Bik,
Hudhari, Tarikh Al-Tasuri’ Al-Islami, terj. Mohammad Zuhri, Jakarta : Darul
Ikhya, tt,
Dahlan,
Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve: 1997
Husni
Al-Munawar, Said Agil, Membangun metodologi Ushul Fiqh, jakarta : PT.Ciputat
Press, 2004
Khalil,
Rasyad Hasan, Tarikh tasyri’, Jakarta : AMZAH, 2009
Khallaf,
Abdul Wahab, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam, Solo : CV. Ramadhani, cet 4 1990
Mubarak,
Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,
2000
Rofiq,
Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, , Yogyakarta : Gama Media, 2001
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh jilid 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu : 1997.
[1] Prof.Ab.Wahhab Khollaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam dan
Terjemahannya (solo:Ramdhani, 1993), hal.7. penerjemah Kh. A. Aziz Masyhuri)
[2] Muhammad Hasan
Al-Aydrus, Penyebaran Islam di asia
Tenggara, (Jakarta : Lentera, 1996), hal. 41.
[3]
Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993), hal. 334.
[4]
Ahmad.munif Suratmaputra.Filsafat
Hukum Islam AL-Ghazali.(Jakarta : Pustaka Firdaus.2002).hal.16-17
Post a Comment for "Perkembangan Tasy'i dalam negara islam dan pendapat ulama"