Perkembangan teknologi sejarah Indonesia
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diawali
dengan kehidupan manusia purba yang belum mengenal tulisan (masa pra-aksara).
Kehidupan manusia purba berproses dari fase yang sangat sederhana hingga
kompleks. Banyak hal yang dapat dimaknai ketika kita mempelajari kehidupan
manusia purba di Kepulauan Indonesia. Satu diantaranya adalah nilai kearifan
lokal dalam pemanfaatan alam. Perkembangan peradaban manusia di Kepulauan
Indonesia terus mengalami kemajuan dengan adanya sistem kepercayaan. Bermula
dari pemujaan terhadap roh nenek moyang yang diwujudkan pada batu-batu seperti
menhir dan pemujaan lainnya.
Masuknya
ras proto melayu dan deutro melayu dengan membawa kebudayaannya telah membuat
kehidupan manusia di Kepulauan Indonesia menjadi lebih dinamis dan terbuka.
Keterbukaan tersebut membawanya pada kejayaan kebudayaan Hindu-Buddha (masa
klasik) yang meninggalkan kemegahan jejak budaya seperti Candi Borobudur, Candi
Prambanan dan sebagainya. Masuknya Islam lewat pelayaran dan perdagangan
menjadi katalisator penting dalam proses integrasi bangsa Indonesia. Hal ini
diperkuat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang secara tidak langsung
menjadi jembatan dari proses akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudayaan
setempat yang kemudian menciptakan berbagai unsur budaya baru.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
antara batu dan tulang?
2. Bagaimana
antara pantai dan gua?
3. Bagaimana
mengenal api?
4. Bagaimana
sebuah revolusi
5. Bagaimana
konsep ruang pada hunian (arsitektur)?
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANTARA BATU DAN TULANG
Peralatan pertama yang digunakan
oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari
tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman paleolitikum atau zaman batu tua.
Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman neozoikum terutama pada akhir zaman
Tersier dan awal zaman Kuarter. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun
yang lalu. Zaman ini merupakan zaman yang sangat penting karena terkait dengan
munculnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis manusia purba. Zaman ini
dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang relatif
masih sederhana dan kasar. Kebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini
terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
·
Kebudayaan
Pacitan. Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Beberapa alat
dari batu ditemukan di daerah ini. Seorang ahli, von Koenigswald dalam
penelitiannya pada tahun 1935 telah menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan
atau alat-alat dari batu di daerah Punung. Alat batu itu masih kasar, dan
bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat batu ini sering
disebut dengan kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini digunakan untuk
menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. Di samping kapak
perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat batu yang disebut dengan chopper
sebagai alat penetak. Di Pacitan juga ditemukan alat-alat serpih.
·
Kebudayaan
Ngandong. Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo,
dekat Ngawi. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga
alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang
dan tanduk rusa yang diperkirakan digunakan sebagai penusuk atau belati. Selain
itu, ditemukan juga alat-alat seperti tombak yang bergerigi. Di Sangiran juga
ditemukan alat-alat dari batu, bentuknya indah seperti kalsedon. Alatalat ini
sering disebut dengan flakke. Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup
luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa
Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.
B. ANTARA PANTAI DAN GUA
Zaman batu terus berkembang memasuki
zaman batu madya atau batu tengah yang dikenal zaman mesolitikum. Hasil
kebudayaan batu madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil
kebudayaan zaman paleolitikum. Sekalipun demikian bentuk dan hasil-hasil
kebudayaan zaman paleolitikum (batu tua) tidak serta merta punah tetapi
mengalami penyempurnaan. Bentuk flake dan alat-alat dari tulang terus mengalami
perkembangan. Secara garis besar kebudayaan mesolitikum ini terbagi menjadi dua
kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di
gua.
·
Kebudayaan
Kjokkenmoddinger. Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti
dapur dan modding dapat diartikan sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur).
Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan
timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra
Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini dapat
memberi informasi bahwa manusia purba zaman mesolitikum umumnya bertempat
tinggal di tepi pantai. Pada tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang
berbeda dari chopper yang ada di zaman paleolitikum. Kapak genggam yang
ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau
lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari batu
kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam
dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga
ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipihan (batu-batu alat
penggiling). Di Jawa batu pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan
jamu.
·
Kebudayaan
Abris Sous Roche. Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang
ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung
kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan
penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo.
Penelitian dilakukan tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil teknologi bebatuan
yang ditemukan misalnya ujung panah, flakke, batu penggilingan. Juga ditemukan
alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan abris sous roche ini banyak
ditemukan misalnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan
seperti di Lamoncong.
C. SEBUAH REVOLUSI
Perkembangan zaman batu yang dapat
dikatakan paling penting dalam kehidupan manusia adalah zaman batu baru atau
neolitikum. Pada zaman neolitikum yang juga dapat dikatakan sebagai zaman batu
muda. Pada zaman ini telah terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu terjadinya
perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola
food producing. Hal ini seiring dengan terjadinya perubahan jenis pendukung
kebudayaannya . Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung
kebudayaan zaman batu baru. Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak
sebagai proses untuk menghasilkan atau memproduksi bahan makanan. Hidup
bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang
terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap
perkembangan.
·
Kebudayaan
kapak persegi. Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine
Geldern. Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini
berbentuk persegi panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium. Ukuran alat
ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung
atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis
seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah
atau tatah. Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian
barat, seperti Sumatra, Jawa dan Bali. Diperkirakan sentra-sentra teknologi
kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa
Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang
menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan. Kapak
persegi ini cocok sebagai alat pertanian.
·
Kebudayaan
kapak lonjong. Nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk penampang alat
ini yang berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti
bulat telur. Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai dan pada bagian ujung
yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang ukuran besar sering disebut
walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong
ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian timur, misalnya di daerah Papua,
Seram, dan Minahasa. Pada zaman neolitikum, di samping berkembangnya jenis
kapak batu juga ditemukan barang-barang perhiasan, seperti gelang dari batu,
juga alat-alat gerabah atau tembikar. Perlu kamu ketahui bahwa manusia purba
waktu itu sudah memiliki pengetahuan tentang kualitas bebatuan untuk peralatan.
Penemuan dari berbagai situs menunjukkan bahan yang paling sering dipergunakan
adalah jenis batuan kersikan (silicified stones), seperti gamping kersikan,
tufa kersikan, kalsedon, dan jasper. Jenis-jenis batuan ini di samping keras,
sifatnya yang retas dengan pecahan yang cenderung tajam dan tipis, sehingga
memudahkan pengerjaan. Di beberapa situs yang mengandung fosil-fosil kayu,
seperti di Kali Baksoka(Jawa Timur) dan Kali Ogan (Sumatra Selatan) tampak ada
upaya pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan. Pada saat lingkungan tidak
menyediakan bahan yang baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang
tersedia di sekitar hunian, walaupun kualitasnya kurang baik. Contoh semacam ini
dapat diamati pada situs Kedunggamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di
Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit
untuk peralatan.
·
Perkembangan
zaman logam. Mengakhiri zaman batu di masa neolitikum mulailah zaman logam.
Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia ini agak
berbeda bila dibandingkan dengan yang ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini
mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu dan besi. Di Kepulauan Indonesia
hanya mengalami zaman perunggu dan besi. Zaman perunggu merupakan fase yang
sangat penting dalam sejarah. Beberapa contoh benda-benda kebudayaan perunggu
itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan.
Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik
keagamaan misalnya nekara.
D.
POLA
HUNIAN
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap
semenjak masa Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu dan meramu tingkat
lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan hidup nomaden
(berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok
tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang
binatang ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada zaman praaksara terdiri atas
dua macam, yaitu :
1. Nomaden
Nomaden
adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-pindah
atau menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan mobilitas
tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan mengumpulkan
makanan dari alam (Food Gathering)
2. Sedenter
Sedenter
adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah
terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya
bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada
kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :
1. Kedekatan
dengan Sumber Air
Air merupakan
kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air pada suatu
lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya.
Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.
2. Kehidupan
di Alam Terbuka
Manusia purba
mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai. Mereka
beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan sekat
tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu
menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan
berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di gua-gua.
Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni gua secara
menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan makanan
mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
Pola
hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi
lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah
situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung
macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan
hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan
makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan
makanan yang cukup.
Pada
umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air
yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air.
Ditempat-tempat itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan
mereka. Selain itu, sungai dan danau merupakan sumber makanan, karena terdapat
banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur
dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya dapat dimakan Pada masa berburu
dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu
tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula
yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman,
biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter)
yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis
Pada
tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua
Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche,
yaitu merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil
teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake, batu
penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa. Kebudayaan Abris
sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga di daerah
Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
Mereka
yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan.
Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai
sejumlah besar sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan. Di
sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat
tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger
(kjokken = dapur , modding = sampah) . Tahun 1925 Von
Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan
jenis kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu,
ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk
menangkap ikan.
E.
MENGENAL API
Bagi
manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat
penting. Berdasarkan data arkeologi penemuan api diperkirakan ditemukan pada
400.000 tahun yang lalu. Pertama kali api dikenal adalah pada zaman purba yang
secara tidak sengaja mereka melihat petir yaitu cahaya panas dilangit yang
menyambar pohon-pohon disekitarnya, sehingga api itu pun muncul membakar
pohon-pohon itu. Dalam menemukan
api, manusia purba membutuhkan proses yang sangat panjang. Proses tersebut
dikenal dengan trial and error, yaitu seseorang yang mencoba sesuatu
tanpa tahu petunjuk atau cara kerjanya sehingga banyak mengalami kegagalan dan
mereka akan terus mencoba walaupun gagal sampai mereka menemukan hasil yang
mereka inginkan.
Setelah
mengalami banyak kegaglan, akhirnya cara membuat apipun ditemukan. Yaitu dengan
membenturkan dua buah batu atau dengan menggesekan dua buah kayu, sehingga akan
menimbulkan percikan api yang kemudian bisa kita gunakan pada ranting atau daun
kering yang kemudian bisa menjadi sebuah api. Api memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan dengan
cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Selain itu api juga
berfungsi untuk menghangat badan, sumber penerangan, dan sebagai senjata untuk
menghalau binatang buas yang menyerang. Melalui
pembakaran juga manusia dapat menaklukan alam, seperti membuka lahan untuk
garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan cara menebang lalu
membakar di kenal dengan nama slash and burn. Ini adalah kebiasan pada
zaman kuno yang berkembang sampai sekarang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peralatan pertama yang digunakan
oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari
tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman paleolitikum atau zaman batu tua.
Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman neozoikum terutama pada akhir zaman
Tersier dan awal zaman Kuarter. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun
yang lalu. Zaman ini merupakan zaman yang sangat penting karena terkait dengan
munculnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis manusia purba. Zaman ini
dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang relatif
masih sederhana dan kasar. Kebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini
terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
Manusia
mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah)
atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal
tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal
tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat
sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu.
B. SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
2014. Sejarah Indonesia (Edisi Revisi).
Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Balitbang, Kemendikbud
http://dinadesiana.wordpress.com/2013/12/02/makalah-sejarah-pola-hunian-manusia-purba/
Post a Comment for "Perkembangan teknologi sejarah Indonesia"