Hadist Pra Kodifikasi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keberadaan
hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah
perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi,
zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan
hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi
untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan
tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi
pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut
berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab
sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain.
Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa
pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H). Terlepas dari
naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah
perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban
Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah hadist pra
kodifikasi?
2.
Bagaimana hadit pada masa periode
sahabat dan mutabi’in?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Hadist
Sejarah
perkembang hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui dari masa
lahirnya dan tumbuh dalam pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman umat
darigenerasi ke generasi. (Endang Soetari.2005.hlm 29). Dengan memperhatikan
masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi
SAW.meneliti dan membina hadits[1].
B.
Sejarah
Hadist Pra Kodifikasi
1.
Hadist pada Masa Rasulullah SAW
Urgensi hadis dalam penentuan sikap terhadap berbagai
makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran atau sebagai kewenangan
tersendiri bagi Rasulullah Saw, bagi para sahabat, memiliki kedudukan yang khas
dan sejarah tersendiri yang tidak bisa lepas dari aspek budaya dan peradaban
saat itu. Sikap para sahabat tersebut, ditinjau dari aspek kebudayaan saat itu,
meliputi dua titik persoalan yang utama, yakni perhatian dan tradisi mereka terhadap
budaya lisan dan tulisan. Kedua aspek ini, dalam salah satu tinjauan riwayat
Abu Hurairah, berlaku secara bersamaan dan menjadi tradisi yang mengakar bagi
generasi selanjutnya. Dalam Shahih al-Bukhari Kitab al-Ilmu, Bab Kitabah al-ilm
dinyatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata, "Tidak ada seorang pun
sahabat Nabi Saw yang lebih banyak hadisnya daripada diriku selain Abdullah bin
Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak". (Shahih al-Bukhari)
Penyampaian hadis secara lisan merupakan hal mendasar
dalam tradisi saat itu. Bahkan setelah koleksi tertulis hadis disusun,
penyampaian hadis secara lisan masih ideal. Kelisanan, dalam sistem ini,
merupakan kebajikan bukan sebaliknya. Seperti hal yang meremehkan bukti
tertulis, dan lebih menyukai pembuktian lisan langsung, ulama hadis pun
menekankan superioritas penyampaian hadis secara langsung, pribadi, dan lisan.
Nilai tulisan hanyalah untuk membantu mengingat.
Cara Rasul Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang
membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung
memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana
tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah
masjid, rumah beliau sendiri, dan pasar ketika beliau dalam perjalanan (safar).
Dalam riwayat Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas'ud
pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadistnya dengan berbagai
cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak
mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah
a.
Melalui para jama'ah yang berada di
pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
b.
Melalui para sahabat-sahabat
tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
c.
Melalui ceramah atau pidato ditempat
terbuka, seperti ketika haji wada' dan Futuh Makkah.
Untuk
hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat,
jika mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada
istri-istri beliau.
Keadaan para sahabat dalam meneriama
dan menguasai hadist
Dalam perolehan dan penguasaan hadist, antara satu
sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada
yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini disebabkan karena:
·
Perbedaan mereka dalam hal
kesempatan bersama Rasulullah SAW.
·
Perbedaan dalam soal hafalan dan
kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
·
Perbedaan dalam hal waktu masuk
Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.
·
Perbedaan dalam ketrampilan menulis,
untuk menulis hadist.
Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima
hadist dari Nabi SAW antara lain adalah:
·
Para sahabat yang termasuk
As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin Affan,
Ali bin Abi Tahlib.
·
Ummahat Al-Mu'minin (istri-istri
rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya banyak
berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami istri.
·
Para sahabat yang disamping dekat
dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bin
Ash.
·
Sahabat yang meskipun tidak lama
bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan kesempatan dan
bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu Hurairah.
·
Sahabat yang secara sungguh-sungguh
mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain seperti,
Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.
Aktifitas menghafal hadist
Untuk memelihara kemurnian al-Qur'an dan Hadist,
Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur'an beliau memberi instruksi
untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedangkan terhadap hadist beliau secara
resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain[2].
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk
menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur'an. Ada alasan
yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
a.
Kegiatan menghafal merupakan budaya
Arab yang telah ada sejak zaman praIslam.
b.
Mereka terkenal kuat hafalan jika
dibanding bangsa-bangsa lain.
c.
Rasulullah banyak memberi spirit
melalui doa-doanya agar mereka diberikan kekuatan hafalan dan dapat mencapai
derajat yang tinggi.
d.
Dan Rasul sering kali menjanjikan
kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafalkan hadist dan menyampaikan kepada
orang lain.
e.
Aktifitas menulis hadist
Keadaan
Hadis pada masa Nabi Muhammad SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi,
walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan
penulisan hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya:
لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير
القر ان فليمحه.
"
jangan menulis apa-apa selain Al-Qur'an dari saya, barang siapa yang menulis
dari saya selain Al-Qur'an hendaklah menghapusnya". (Hr. Muslim dari Abu
Sa;id Al-Khudry)
Tetapi
disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan
penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن الاالحق.
"tulislah
dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari
mulutku kecuali yang hak".
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para
ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
a.
Bahwa larangan menulis hadist itu
terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur
dengan Al-Qur'an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan
telah banyak yang mengenal Al-Qur'an, maka hukum larangan menulisnya telh
dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
b.
Bahwa larangan menulis hadist itu
bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang
memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam
menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin
Ash.
c.
Bahwa larangan menulis hadist
ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan
perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya.
2.
Hadist pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa
sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman
Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H,
masa ini juga disebut dengan sahabat besar.
Menjaga
Pesan Rasul SAW
Pada masa
menjelang kerasulannya, Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang
lain sebagai mana sabdanya :
تركت فيكم أمر يى لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب الله
وسنة نبيّه
"Telah
aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah
berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur'an) dan sunnahku
(Al-Hadist) " H.R Malik
Pesan-pesan
Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala
perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara
pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan
melaksanakan segala yang dicontohkan.
Berhati-hati
dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist
Perhatian sahabat pada masa ini terutama sekali
terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur'an, ini terlihat
bagaimana Al-Qur'an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar Ibn Khattab,
usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan
mushaf Usmani satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang
empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah[3].
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini
belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya
Al-Qur'an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur'an. Sebab lain pula,
bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar
diberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai
pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka
secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan
para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya
perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
Periwayatan
Hadist dengan Lafadz dan Makna.
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadist,
yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat kehati-hatiannya, tidak berarti
hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batasan-batasan tertentu
hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan ibadah dan muamalah.
Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadist
tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari
Rasul SAW:
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti
yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan
jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari
Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Kedua, periwayatan maknawi (maknanya saja).
Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak persis sama
dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau maknanya tetap
terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada
perubahan.
Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk
menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur'an, hal ini disebabkan
karena:
a.
Agar tidak memalingkan perhatian
umat Islam dalam mempelajari Al-Qur'an.
b.
Para sahabat yang banyak menerima
hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
c.
Soal membukukan hadist, dikalangan
sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya
perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
3.
Hadist Pada
Masa Tabi'in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan
Tabi'in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai para
guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan
yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam
satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada
masa khulafa' Al-Rasyidin kebeberapa wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah
para tabi'in mempelajari hadist.
Ketika pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah
kekuasaan islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir,
Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya
perluasaan kekuasaan Islam tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga
meningkat. Oleh sebab itu, masa ini dikenal masa penyebaran periwayatan hadist
dan masa pembukuan hadis.
Hadist-hadist yang diterima para tabi'in ini, seperti
telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan
ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam
ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua
ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau
terlupakan.
Sampai pada akhirnya fakta sejarah menunjukkan bahwa
pada abad pertama perkembangan hadis, sebagian perawi mencatat hadis-hadis dari
para pendahulunya, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya
mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus
berlangsung hingga masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan. Beliau
memerintahkan Kasir bin Murrah al-Hadhrami untuk menulis semua hadis dari para
sahabat Rasulullah yang dapat diperolehnya, kecuali hadis-hadis dari Abu
Hurairah, karena ia sudah memilikinya. Umar bin Abdul Aziz, diriwayatkan, telah
mengeluarkan perintah kepada Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, Gubernur
Madinah untuk men-tadwin (mengkodifikasikan) hadis. Selain itu, ia juga
memerintahkan kodifikasi hadis kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H). Imam
Malik dalam al-Muwatta meriwayatkan perintah Umar tersebut sebagai berikut,
"Lihat dan telitilah hadis-hadis Rosulullah, sunahnya, hadis Umar atau
sebagainya, lalu tulislah, karena aku takut akan hilang dan punahnya ilmu
disebabkan meninggalnya ulama".
Selain itu Umar berpesan agar Ibnu Hazm mencatat
hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman seorang wanita Anshar anak
al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa Umar juga
mengirim surat ke beberapa daerah, bunyinya sebagai berikut, "Telitilah
hadis-hadis Rasulullah, lalu kumpulkanlah". Perintah Umar bin Abdul Aziz
rupanya telah berhasil membangkitkan minat para ulama untuk semakin
meningkatkan usaha pengkodifikasian hadis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Kodifikasi (tadwin) mengacu
kepada penyusunan secara sistematis dari lemberan-lembaran yang ada secara
resmi yang dikoordinasikan oleh pemerintah dalam hal ini adalah khalifah
kedalam sebuah kitab yang tersusun
b.
Sedangkan penulisan (kitabah)
adalah kegiatan mencatat atau menulis setiap hadits yang disampaikan oleh
Rasulullah saw yang sifatnya perorangan.
c.
Pada masa Rasulullah saw para
shahabat lebih fokos kepada al-Qur’an yang harus mereka hafal dan catat,
sementara hadits hanyasebatas dihafal, ditabligkan dan diamalkan dan belum ada
perintah resmi menulis hadits dari Rasul.
d.
Dalam masalah penulisan hadits
terdapat larangan menulis hadits yang berlaku secara umum karena dikhawatirkan
akan bercampur dengan al-Qur’an, sementara bagi orang yang tidak dikhawatirkan
terjadinya percampuran maka menulis hadits dibolehkan secara perorangan.
e.
Ada dua cara shahabat menerima
hadits dari Rasulullah saw. yaitu secara lansung (musyaddah), dan secara
tidak lansung (musyafahah),
f.
Sejarah hadits pada masa shahabat
tidak jauh berbeda dengan sejarah hadits pada masa rasulullah saw, bahkan pada
masa shahabat dilakukan penyediktkan riwayat, dengan tujuan memlihara kemurnian
hadits.
g.
Pada masa shahabat, dalam menerima
hadits mereka sangat teliti. Dalam membuktikan kebenaran hadits, dibuktikan
dengan saksi dan sumpah.
B.
Saran
Dengan
penulisan makalah ini penulis berharap dengan mengetahui sejarah perkembangan
hadits agar umat Islam lebih bersifat
inskusif terhadap beberapa hasanan pemikiran tentang segala hal. Sehingga
ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan
perubahan zaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Majid Khon. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta:
AMZAH
Agus Solahudin.2009.Ulumul Hadis.Bandung :
Pustaka Setia
Endang Soetari. 2008. Ilmu Hadits : Kajian Riwayah
& Dariyah. Bandung : MIMBAR PUSTAKA
Maslani. 2011. Ikhtiasri Ulumul Hadits. Bandung
: CV. Insan Mandiri
Mudasir. 1999.Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka
Setia
[1] Abdul Majid Khon. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta:
AMZAH. Halm. 47
[2] Agus Solahudin.2009.Ulumul Hadis.Bandung :
Pustaka Setia.hlm.12
[3] Maslani. 2011. Ikhtiasri Ulumul Hadits. Bandung
: CV. Insan Mandiri.hlm.41
Post a Comment for "Hadist Pra Kodifikasi"