Sejarah dan perkembangan teater
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kata “seni”
adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan
kadar pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata “SANI”
yang kurang lebih artinya “Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Sehingga dapat
diartikan dengan keberangkatan orang/ seniman saat akan membuat karya seni,
namun menurut kajian ilmu di eropa mengatakan “ART” (artivisial) yang artinya
kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan.
Karya seni
sudah ada sejak lebih dari 60.000 tahun silam. Bukti ini terdapat pada
dinding-dinding goa di Prancis Selatan. Buktinya berupa lukisan yang berupa
torehan-torehan pada dinding dengan menggunakan warna yang menggambarkan
kehidupan manusia purba. Artefak/bukti ini mengingatkan kita pada lukisan
modern yang penuh ekspresi. Hal ini dapat kita lihat dari kebebasan mengubah
bentuk. Satu hal yang membedakan antara karya seni manusia Purba dengan manusia
Moderen terletak pada tujuan penciptaannya. Manusia purba membuat karya seni
atau penanda kebudayaan pada masanya semat-mata untuk kepentingan sosioreligi,
atau manusia purba adalah figure yang masih terkungkung oleh kekuatan-kekuatan
di sekitarnya. Sedangkan manusia modern membuat karya seni atau penanda kebudayaan
pada masanya digunakan untuk kepuasan pribadinya dan menggambarkan kondisi
lingkungannya.
Dengan kata
lain manusia modern adalah figur yang ingin menemukan hal-hal yang baru dan
mempunyai cakrawala berfikir yang lebih luas. Semua bentuk kesenian pada jaman
dahulu selalu ditandai dengan kesadaran magis; karena memang demikian awal
kebudayaan manusia. Dari kehidupan yang sederhana yang memuja alam sampai pada
kesadaran terhadap keberadaan alam.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
itu teater?
2. Bagaimana
sejarah teater di Indonesia?
3.
Bagaimana perkembangan teater di
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
TEATER
Teater
(Bahasa Inggris "theater" atau "theatre", Bahasa Perancis
"théâtre" berasal dari Bahasa Yunani "theatron", θέατρον,
yang berarti "tempat untuk menonton") adalah cabang dari seni
pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton dengan
menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka, musik,
tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen drama di Univesitas Hofstra,
New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama, mendefinisikan teater sebagai
" yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam suatu
waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada orang lain." Teater bisa
juga berbentuk: opera, ballet, mime, kabuki, pertunjukan boneka, tari India
klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi performance serta pantomim.
Teater adalah tempat
persembahan - persembahan kesenian
yang dilakonkan di hadapan penonton secara langsung menggunakan kombinasi
pertuturan, gerak isyarat, muzik, tarian, bunyi dan sebagainya.Terdapat
pelbagai jenis persembahan teater, antaranya ialah: opera,
balet,
pantomim dan wayang kulit.
Selain itu, menurut prof. datin. dr. rahmah hj bujang dalam bukunya yang
berjudul Glosari Kesenian Melayu pula ialah teater adalah sebarang perlakuan
kisah atau cerita dalam satu kawasan yang ditentukan sebagai pentas untuk
perlakuannya dan menuntut pergerakan fizikal; dengan mempunyai komponen aksi
dan reaksi para pelaku, yaitu para pelakon, dan pemerhati, yaitu audiens atau
penontonnya.
Beberapa macam arti
teater:
1. Secara etimologis : Teater adalah
gedung pertunjukan atau auditorium.
2. Dalam arti luas : Teater ialah
segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak
3. Dalam arti sempit : Teater adalah
drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan
media : Percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis
ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb.
B.
SEJARAH
TEATER DI INDONESIA
Kasim
Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006)
mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman
Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional
banyak digunakan untuk 24 mendukung upacara ritual. Teater tradisional
merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat
dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut
“teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu
bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara,
unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari
spontanitas rakyat dalam masyarakatlingkungannya.
Proses
terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi
dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur
pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap
budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir.
Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di
daerah-daerah di Indonesia.
1.
Wayang
Wayang
merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri
bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang
di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain
pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada
petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung
dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah
dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk
semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu
Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya
pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua. Sedangkan bentuk
wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya. Awal mula
adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930.
Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang
kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa
dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun
tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang
kulit sebagaimana dikenal sekarang.
2.
Mamanda
Daerah
Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang
paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat
kerakyatan, yang orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada tahun
1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang
lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini
sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan.
Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada
Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari
judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan
Saleha.
3.
Ketoprak
Ketoprak
merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan
daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di
daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam
kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan
emprak. Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang
menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan.
Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap.
Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan
bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan
bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa.
Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
§ Bahasa
Jawa biasa (sehari-hari)
§ Bahasa
Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
§ Bahasa
Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan
bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa
ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa
yang halus dan spesifik.
C.
PERKEMBANGAN
TEATER DI INDONESIA
1. Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan
Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern
Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama
tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur
sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan
ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda
yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra
drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model
dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan
yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926).
Lakon Bebasari merupakan sastra
drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan
perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat
jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932)
dan Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok
dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di
Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur
Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam
Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman
Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis
drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema
kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai
negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan
Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai
teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara
lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
2. Teater Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada
kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter
Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan
pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan
gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat
berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan
menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai
upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia.
Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat
Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr.
Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan
Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud
menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan
kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah
diambil oleh Badan Pusat Kesenian
Indonesia untuk mewujudkan cita-cita
kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari
barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman
dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas
kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat
Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra
Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong
propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara
yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun
waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena
pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling
komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis
Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali
berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda.
Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan actor dan aktris kenamaan,
antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan
sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon
Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon
antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija,
R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya
menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa
Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak
diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya
kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda
yang cantik-cantik .
Menyusul kemudian muncul rombongan
sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada
dengan suaminya Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan
sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka
karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero.
Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong
Aceh. Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina
atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para
pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan
membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara
Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia,
seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan
deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung.
Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga
menarik minat penonton. Ceritacerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan
Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain
sebagainya. Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara
Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam
perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan
propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia
yang mementaskan ceritacerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang.
Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama
Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda
Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan
hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan
lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap
kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai
selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa
rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang
ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida,
Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya
menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay,
Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo
di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Pertumbuhan sandiwara profesional tidak
luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu
Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan
Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara
profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap
rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi
menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng
Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya
Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh
Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena
ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para
pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis
dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah
dalam setiap pementasan sandiwara.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul
rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar Maya
(1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto,
Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis
dan para professional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini
berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah
pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai
hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional
dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai
seni serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara
serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional
Indonesia di Jakarta.
3. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun
1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan
lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik
kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan.
Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian
merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater
Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di
Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan
Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama
Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F. Pada
saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia.
Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima,
dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu
kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual
di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar
Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Di
Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar
cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya
berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di
Bandung muncul Teater Bel, Teater Republik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal
lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita,
Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong,
Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul
Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot.
Dari Festival Teater Jakarta muncul
kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah
yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi
latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater
Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di
luar produk festival (Afrizal Malna,1999). Aktivitas teater terjadi juga di
kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah
teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
4. Teater Kontemporer Indonesia
Teater
Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak
munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik
dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus
berkembang sejak tahun 80-an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling
bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater
eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam
seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian,
wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap
semakin banyak.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Teater (Bahasa Inggris "theater" atau
"theatre", Bahasa Perancis "théâtre" berasal dari Bahasa Yunani
"theatron", θέατρον, yang berarti "tempat untuk menonton")
adalah cabang dari seni pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di
depan penonton dengan menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh),
mimik, boneka, musik, tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen
drama di Univesitas Hofstra, New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama,
mendefinisikan teater sebagai " yang terjadi ketika seorang manusia atau
lebih, terisolasi dalam suatu waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada
orang lain." Teater bisa juga berbentuk: opera, ballet, mime, kabuki,
pertunjukan boneka, tari India klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi
performance serta pantomim.
Teater
adalah tempat persembahan - persembahan kesenian
yang dilakonkan di hadapan penonton secara langsung menggunakan kombinasi
pertuturan, gerak isyarat, muzik, tarian, bunyi dan sebagainya.Terdapat
pelbagai jenis persembahan teater, antaranya ialah: opera,
balet,
pantomim dan wayang kulit.
Selain itu, menurut prof. datin. dr. rahmah hj bujang dalam bukunya yang
berjudul Glosari Kesenian Melayu pula ialah teater adalah sebarang perlakuan
kisah atau cerita dalam satu kawasan yang ditentukan sebagai pentas untuk
perlakuannya dan menuntut pergerakan fizikal; dengan mempunyai komponen aksi
dan reaksi para pelaku, yaitu para pelakon, dan pemerhati, yaitu audiens atau
penontonnya.
B.
SARAN
Dalam penyelesaian makalah ini penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka penulis mengharapkan kirik
dan saran dari pembaca guna perbaikan untuk kali yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Santosa
Eko,dkk. 2008.Seni Teater Jilid I untuk
SMK. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Departemen
Pendidikan Nasional
Anonim. Sejarah teater di Indonesia.(online). Diakses
tanggal: 7 Oktober 2011
Damono,Sapardi Djoko. Kesusastraan Indonesia Sebelum
Kemerdekaan. PDF. (Online). Diakses tanggal: 7 Oktober 2011
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Kritik Sastra Indonesia
Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Post a Comment for "Sejarah dan perkembangan teater"