Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sumber - sumber hukum islam


BAB 1 Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Pendidikan agama islam sangat penting dalam kehidupan manusia khususnya umat muslim, pada kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan pendidikan mengenai agama islam agar umat muslim dapat menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah SWT.

B.     Rumusan Masalah
1.  Apa Sumber-sumber Hukum Islam?
2.  Apa Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat?
3. Bagaimana Kontribusi Umat Islam dalam Penegakan Hukum?

C.     Tujuan
1. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam
2. Untuk mengetahui fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat
3. Untuk mengetahui kontribusi umat islam dalam penegakan hukum
  



BAB 2 Pembahasan
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah.Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
A. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnan-NYA.


Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
  1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
  2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
  3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
  4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
  1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
  2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
  3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
  1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
  2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
  1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
  2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
  3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah
  4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
  5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
  6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.




Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar.Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan.Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan zaman.Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya.Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya.Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir).Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an.Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.

 Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
  1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
  1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut: Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)

Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan.Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
  1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
  1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
  2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
  3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
  1. Rawinya bersifat adil
  2. Sempurna ingatan
  3. Sanadnya tidak terputus
  4. Hadits itu tidak berilat, dan
  5. Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan.Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”.Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits
.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
  1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
  2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
  3. mengetahui soal-soal ijma
  4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)

Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid.Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam.Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski.Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan.Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
  1. Dasar (dalil)
  2. Masalah yang akan diqiyaskan
  3. Hukum yang terdapat pada dalil
  4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan


Bentuk Ijtihad yang lain
  • Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
  • Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
  • Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
  • Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
  • Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
  • Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.



FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

Peranan hokum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a.     Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.

b.     Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hokum  (Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas.Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa pelakunya.Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut.Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar.Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar.Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
c.      Fungsi Zawajir

Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum.Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hokum mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan.Fungsi hokum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.

d.     Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah

Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hokum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).



KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM PENEGAKAN HUKUM
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hokum pada akhir-akhir ini semakin tampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hokum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
A.  Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan atau Amandemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 65 Ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 Bab, 37 Pasal, 194 Ayat, 3 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.





Sejarah Awal
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945.Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja.Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera.Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945.Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Periode Berlakunya UUD 1945, 18 Agustus 1945- 27 Desember 1949
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950.Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.
Periode UUDS 1950 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal.Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.Periode kembalinya ke UUD 1945 5 Juli 1959-1966.Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
 - Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
-MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
- Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei 1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.
Periode kembalinya ke UUD 1945 5 Juli 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
- MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
 - Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.

Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei 1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.





Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi.Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
Periode UUD 1945 Amandemen
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
 -  Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
  -  Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
 -  Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
    -  Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
A. Sejarah Hukum Perkawinan

Lahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan peraturan perundang– undangan yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagi
dengan politik hukum dan kebutuhan masa kini. Oleh karena itu, undang-undang
ini harus dipandang sebagai hasil proses penyempurnaan konsepsi-konsepsihukum dimasa lalu. Suatu perwujudan dari berbagai keinginan dalammenciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat “nasional” dan sesuai dengan kebutuhan hukum rakyat Indonesia dimasa kini dan masa mendatang.Kelahiran UUP bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukumperkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”, melainkanjuga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan,memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinanyang baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesiayang pluralistik. Dalam kaitan ini, penjelasan umum UUP antara lain menyatakandalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenaiperkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telahdisesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman.Cita unifikasi yang telah ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda
menjadi aktual lagi dan bersifat nasional.

Pemerintah kolonial belanda selalumengalami kegagalan untuk menciptakan unifikasi hukun di Indonesia.Padadasarnya rencana hukum tersebut mengarah dan berlandaskan kepada hukumBarat.Menggingat bangsa Indonesia merupakan bagian terbesar penduduk dantelah memiliki hukumnya sendiri, sudah tentu merasa keberatan untuk tundukpada hukum Eropa yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk HindiaBelanda pada waktu itu.hubungan hukum perkawinan dipengaruhi secara mendalam oleh paham-pahamkeagamaan dan kemasyarakatan.Tahun 1974 Indonesia telah berhasil menciptakan suatu hukumperkawinan yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia dan dengan tanpamembedakan golongan penduduk dan daerah lagi, dengan mengatasi persoalanpersoalanyang selama ini dinilai krusial.Saat ini hukum di Indonesia telahberhasil menciptakan suatu unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasionalsebagaimana diatur dalam UUP, namun masih terbatas pada hal-hal yang bersifatadministratif atau formal saja, selebihnya masih diserahkan kepada hukumnyamasing-masing.Keinginan pemerintah untuk hukum perkawinan yang bersifat“nasional”, sudah mulai dirintis sejak tahun 1950.
Pada masa lalu pembaharuanterhadap hukum perkawinan selalu menemui kegagalan berhubung subjek danobjek yang diatur hukum perkawinan berkaitan erat dengan kehidupan socialkeagamaan, yang tidak mudah untuk disatupadukan.Ini berarti pembaruan hukumperkawinan nasional harus dilakukan penuh hati-hati, sehingga tidakmenimbulkan kekecewaan golongan penduduk lainnya.Semenjak tahun 1950 pemerintah telah memberikan perhatiannya padakeluarga, terutama sekali yang berkaitan dengan Undang-UndangPerkawinan. Usaha pembaruan hukum keluarga ini mengalami banyak kegagalanberhubung denngan sifatnya yang sangat sensitif dan sangat erat sangkut pautnyadengan faktor-faktor spiritual dan kebudayaan bangsa, yang menyebabkandengan Surat Perintah Menteri Agama No B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950oleh pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan HukumPerkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini menyusun suatuRancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semuakenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu.Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahlimengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yangdiketuai oleh Tengku Hasan.
Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semuagolongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yangmengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umumkepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya masingmasingmemberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal tersebutpaling akhir pada tanggal 1 Februari 1953. Rancangan yang dimajukan itu selainberusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaikikeadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak,untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagilaki-laki dan 15 bagi perempuan;
2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalamkehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalammasyarakat;
3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yangberlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hinggadapat memenuhi syarat keadilan;
4. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadimilik bersama;
5. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkanalasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalamperaturan Hukum Islam;
6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat danmengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak,pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.
mengenai soal undang-undang perkawinan itu. Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku:
1. Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama;
2. Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan;
3. Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk         suatu golongan agama itu.
Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat Rancangan Undang-
Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan masih akan ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan tanggapansampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinanSoemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting diantaranya, setidak-tidaknyabagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa didalamusul inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan untuk menjalankan monogami.
Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam.Justru dari pihak Islamtradisional terdapat keraguan apakah bagi orang-orang Islam diperlukan hukumperkawinan.Bukankah peraturan-peraturan yang sekali telah diberikan Tuhan,sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat diperuntukkanuntuk segala zaman dan negara.Bahan-bahan baru untuk didiskusikan yaknirencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober1959, Rancangan Undang-Undang Soemari tersebut ditarik kembali oleh parapengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah anggotaDPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk dibicarakan. Paraanggota Partai Islam menngadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogamy yang dikandung dalam Rancangan tersebut.Sudah barang tentu sebagai organisasikaum perempuan memprotes argumentasi yang dipergunakan untukmembenarkan poligami.Pembentukan UUP berproses sangat panjang dan kemudiandimusyawarahkan dengan sungguh isi Rancangan Undang-Undang tentangPerkawinan, agar dapat menampung aspirasi masyarakat dan memberikanformulasinya secara teknis yuridis.
Dalam memberikan isi kepada RancanganUndang-Undang tentang Perkawinan tersebut diusahakan untuk mempertemukanaspirasi hukum yang berbeda-beda itupun tidak bisa dilakukan materi yangdipermasalahkan akan dicabut.Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa dilihat dari sudut fungsi hukumsebagai a tool of social engineering, Undang-Undang tentang Perkawinan initidak sesuai dengan perkiraan yang didasarkan pada kemampuan hukum untukmenjalankan a tool of social engineering di bidang-bidang yang berkaitan eratdengan kehidupan kebudayaan dan spiritual masyarakat, namun dilihat dari prosesperkembangan masyarakat menuju masyarakat industri, pengundang-undangan inipatut dicatat sebagai suatu kemajuan yang besar.
Undang-Undang tentangPerkawinan ini memuat ketentuan-ketentuan yang apabila dinilai dari sudut tipekeluarga yang dikehendakinya, bisa digolongkan pada keluarga yang cocok untukmasyarakat modern industrial.Apabila ditempatkan pada latar belakang sebagaibentuk perkawinan di Indonesia yang masih mendasarkan diri pada ikatan danstruktur clan (kesukuan), maka kehadirannya dapat dinilai sebagai sarana untukmelakukan perubahan sosial. Perubahan sosial di sini terjadi dengan caramelakukan perombakan-perombakan pada struktur hubungan sosial.Apabila dilihat dari segi peranannya bagi pembangunan nasional, hukumperkawinan yang baru ini bisa dipandang sebagai satu bangunan yang didirikan ditengah-tengah masyarakat yang memberikan peringatan tentang berbagai janjiyang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut.
Ketentuan-ketentuanyang tercantum didalamnya mungkin belum seluruhnya atau secara sempurnadapat dijalankan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini dan diingatkan pulaagar berhati-hati dalam membuat hukum yang menyangkut bidang kehidupanyang bersifat pribadi, apalagi jika hukum itu hendak melakukan Perombakanperombakandibidang tersebut..Bagi suatu Negara dan Bangsa Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional dan dengan landasan falsafah Pancasila danUndang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang Perkawinan ini harusdapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila danUndang-Undang Dasar 1945 serta mengandung di dalamnya unsur-unsurdan ketentuan hukum masing-agama agama dan kepercayaannya itu.Sebagai suatu Undang-Undang yang nasional sifatnya dan yg meliputiseluruh warga negara Indonesia, merupakan suatu penggarisan lanjutandari TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, yang antara lainmenentukan bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuanhukum, dalam arti bahwa hanya ada satu hukum dalam hukum nasionalyang mengabdi kepada kepentingan nasional. Ketunggalekaan dalamHukum Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkinkan adanyakebinekaan.Undang-Undang tentang Perkawinan ini merupakan sutaurefleksi dari pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 1973,tentang menyinggung Undang-Undang yang sekarang diselesaikanbersama dan disahkan oleh DPR yg terhormat.
Undang-Undang tentangPerkawinan ini memiliki landasan bagi suatu perkawinan sebagai suatulembaga yang suci dan luhur oleh semua agama dan cita budaya yangmengilhami alam fikiran, atas dasar mana dibangun suatu keluarga yangkekal, sejahtera, dan bahagia diwujudkan dalam asas monogami yangmemandang poligami sebagai exceptional, dan restriktif dan perceraianharus dihindarkan, dan terdapat sesuatu untuk menaikkan kedudukan,harkat, dan martabat wanita, sedangkan pengaturan itu sejalan dengantugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kesucian dankeseluruhaun tujuan perkawinan.Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan, walaupun belum sempurnadan pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, tetapi telah memberikan suatu pegangan.








Pengertian dan Ruang Lingkup Zakat

Sebagaimana dipahami bahwa zakat merupakan rukun Islam yang ketiga. Kata “zakat” itu sendiri berasal dari kata “al-zaka”, artinya: menumbuhkan dan berkembang (QS. al-Baqarah [2]: 276),memberi keberkahan (QS. Saba’ [34]:39),dan menyucikan (QS. al-Taubah [9]:103). Dalam Al-Qur’an terdapat 32 kata “zakat” bergandengan dengan kata “shalat” dan sebanyak 82 kata dengan makna yang sinonim, yaitu shadaqah dan infaq.Sedangkan zakat menurut terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt. untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Selain itu, bisa juga berarti sejumlah harta tertentu dari harta tertentu yang diberikan kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu.

Zakat dalam Perspektif Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
Menurut Pasal 2 Undang-Undang ini bahwa yang menjadi wajib zakat adalah setiap warganegara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat.Dalam menjalankan kewajiban tersebut, maka pemerintah turut langsung terlibat memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat.
Dalam menjalankan tugas tersebut Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya (Pasal 9) dan sekaligus sebagai pengawas (Pasal 18), yaitu:
1.   Badan amil zakat nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
2.   Badan amil zakat provinsi oleh gubernur atas usul kepala wilayah depatemenagama provinsi;
3.   Badan amil zakat kabupaten/kota oleh bupati/walikota atas usul kepala kantordepartemen agama kabupaten/kota;

 Sejarah UU Pengadilan Agama
Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama sejak 1961, yaitu sejak dibentuknya sebuah panitia dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961. Dalam masa 28 tahun sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (1961-1989), kegiatan persiapan RUU PA telah menghabiskan waktu selama 27 tahun (1961-1988) dan pembahasannya di DPR RI selama satu tahun, yaitu sejak diantarkannya RUU tersebut melalui amanat Presiden Nomor R.06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuan, sampai disetujui dalam sidang pleno DPR RI pada tanggal 14 Desember 1989.
Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA dapat dibagi kedalam tiga periode, yaitu:
1.         Periode Pertama (1961-1971), dalam periode ini kegiatan terbatas dalam lingkungan intern Departemen Agama sendiri dan belum dilakukan langkah-langkah keluar
2.         Periode Kedua (1971-1981), dalam periode ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen Agama, namun belum diperoleh sambutan dari instansi terkait maupun yang langsung menyetujui gagasan dipersiapkannya RUU PA
3.         Periode Ketiga (1981-1988), dalam periode ini gagasan mempersiapkan RUU PA yang telah lama didambakan oleh Departemen Agama langsung mendapat persetujuan dari instansi terkait yang lain. Persetujuan tersebut dimulai oleh Mahkamah Agung pada 1981 dan kemudian oleh Departemen Kehakiman pada 1982, yaitu melalui Keputusan Menteri Kehakiman tahun 1982 No. G-164-PR-04.03/1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun rancangan tersebut. Tertunjuk sebagai ketua tim adalah Prof. Dr. Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung saat itu).
Dengan keluarnya keputusan Menteri Kahakiman tahun 1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun Rancangan Undang-Undang mengenai Peradilan Agama, maka rancangann Undang-Undang mengenai peradilan ini mulai ditanggapi. Dengan menunjuk Prof. Dr. Bustanul Arifin sebagai ketua tim pembahas RUU ini. Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal dalam negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 Desember 1988, Presiden Republik Indonesia menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-Undang menggantikan semua peraturan perundang-undangan tentang peradilan agama yang tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 dan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
Harapan umat muslim bahwa orde baru lebih bersahabat daripada orde lama ternyata salah.  Pada 1973, Pengadilan Islam mengalami perjuangan untuk mendukung eksistensi kepentingan umat Islam. Juli pada tahun itu diajukan sebuah draft hukum pernikahan yang bersifat sekuler dan secara efektif menghapus sistem Peradilan Islam.  Departemen Agama maupun organisasi Islam tidak diikutsertakan pada pembuatan draftnya. Langkah tersebut merupakan dorongan dari para penasehat presiden yang dipimpin oleh Mr. Ali Mustopo dan grup katolik yang didominasi tim peneliti, Pusat Studi Strategi dan pihak dunia internasional. Kelompok ini tidak hanya fokus pada Peradilan Islam, tetapi juga menemukan bahwa isu undang-undang pernikahan memberikan kesempatan untuk menyerang politik islam.
Draft ini memberikan satu paket peraturan pernikahan dan perceraian yang dapat diterapkan di Indonesia pada semua agama apapun. Hal ini mensyaratkan adanya registrasi pada penikahan dan persetujuan pengadilan untuk cerai dan poligami. Baik perceraian ataupun pernikahan poligami, akan menjadi subjek untuk dibatasi secara katat. Penyelenggaraan hukum dipercayakan kepada Pengadilan Sipil, yang telah mengurangi yurisdiksi pengadilan-pengadilan di pulau terluar sebatas masalah warisan dan membiarkan Pengadilan Islam di Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan untuk tidak menpunyai tugas.
Usulan ini dihadapi dengan kemarahan kaum muslim oposisi baik dari dalam maupun luar legislatif. Pada sautu waktu ribuan pemuda muslim turun ke lantai dewan legislatif dan miter digunakan untuk mengamankan. Konflik mulai reda ketika pimpinan militer mengusulkan diskusi di luar proses formal legislatif dengan kaum muslim. Partai-partai saat itu menyetujui adanya revisi rancangan undang-undang dimana kaum muslim menerima permintaan batasan hukum pada perceraian yang semena-mena dan poligami, dengan perjanjian bahwa substansi hukum pernikahan tidak akan diubah dan peran Pengadilan Islam tidak dikurangi. Akhirnya sebuah undang-undang disetujui oleh badan leagislativee pada tahun 1973 dan ditandatangani presiden sebagai UU tentang pernikahan tahun 1974.
Sebelum ditetapkan sebagai Undang-Undang, sebuah peraturan harus melalui adanya proses penyusunan naskah akademik peraturan, yaitu konsep awal yang menggambarkan tentang garis besar perundang-undangan yang akan dibuat. Naskah akademik tersebut juga dimaksudkan untuk menguraikan secara mendalam berbagai aspek yang berkaitan dengan sebuah rancangan peraturan sehingga dapat mudah difahami pokok-pokok fikiran yang menjadi bahan dan dasar sebuah rancangan peraturan.
Keberadaan naskah akademik inilah yang menjadikan adanya acces acountabelities dan responsibelities (keterbukaan dan tanggung jawab) yang melembaga termasuk kontrol sosial dari masyarakat, baik melalui lembaga swadaya, individu, kelompok, pers, masyarakat hukum, dan komponen masyarakat lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa proses berdemokrasi juga diberlakukan terutama dalam proses legislasi, dan inilah makna demokratisasi hukum atas lahirnya RUU Pengadilan Agama menjadi UU Pengadilan Agama di Indonesia sekaligus lahirnya UU tentang pernikahan tahun 1974.





Penyusunan RUU tersebut banyak mendapat tantangan dari berbagai pihak untuk menggagalkannya. Setidaknya dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, mengatakan bahwa dalam rangka menuju unifikasi hukum di Indonesia, Peradilan Agama tidak diperlukan lagi karena akan ada dualisme dalam sistem peradilan di Indonesia. Kalaupun ada Peradilan Agama, maka harus berinduk kepada Peradilan Umum.Kelompok ini ingin mempertahankan status quo, dimana Peradilan Agama tidak mempunyai kebebasan untuk mengimplementasikan kompetensinya, bahkan ingin agar Peradilan Agama sebagai subordinat dari Peradilan Umum.
Kelompok kedua, adanya yang menginginkan agar Peradilan Agama dibubarkan dengan dalih umat Islam mengurus sendiri hukum Islam yang dianut.Orang-orang ini menolak karena berpendapat bahwa agama itu dipisahkan dari campur tangan negara (sekuler), termasuk intervensi negara dalam soal mengurus Peradilan Agama. Partai Demokrasi Indonsia (PDI), kelompok non muslim dan kelompok sekuler bahkan sebagian pemimpin-pemimpin Islam juga keberatan dengan RUU PA ini. Bahkan partai berkuasa Golkar terpecah menjadi dua kelompok, kelompok yang setuju dan kelompok yang menentang.
Kelompok ketiga, menganggap adanya RUU PA menjadi bentuk diskriminasi tersendiri terhadap terhadap kelompok lainnya sehingga eksistensi Peradilan Agama harus dibibarkan.Oleh karena itu, muncullah tuduhan bahwa RUU PA merupakan strategi untuk memberlakukan kembali Piagam Jakarta.
Dari ketiga kelompok di atas, pada prinsipnya sama yakni keberatan terhadap Peradilan Agama. Kelompok pertama melihat dari segi politik hukum yang berkembang sejak masa penjajahan dengan memberlakukan Peradilan Agama hidup tanpa eksistensi yang jelas.Tanggapan kelompok ketiga mengaitkan dengan rencanan menghidupkan kembali Piagam Jakarta yang pernah direvisi terutama menyangkut kalimat: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Kelompok ini terlalu berlebihan karena mereka khawatir terhadap rencana pembentukan Negara Islam.
UU Peradilan Agama Tahun 1989
UU ini terdiri dari 108 bagian terbagi menjadi 7 bab. Segala uraian dilengkapi penjelasan perbagian.Bab pertama tentang “ketentuan umum” dan terdiri bagian pada definisi, status, lokasi, dan organisaasi serta pengadilan Islam.Ini mengartikan peradilan agama sebagai pengadilan bagi penganut Islam. Pengadilan ini terdiri dari pengadilan agama, ditandai pada bab selanjutnya, sebagai pengadilan dari contoh pertama, dan pengadilan tinggi agama yang menjalankan fungsi pengadilan banding yang ada di 18 dari 27 provinsi yang ada masa itu.
Bab kedua dari UU tersebut mengatur struktur dan komposisi dari pengadilan.Di antara ketentuan ini, ada peraturan yang mengatur perjanjian kualifikasi hakim.Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim berada di tangan presiden sebagai kepala negara berdasarkan rekomendasi Menteri Agama dan peresetujuan MA. Kekuasaan memberikan wewenang pada MA atas seleksi hakim, sebagaimana yang telah dijalankan beberapa tahun sebelum UU diajukan, memformalkan campurtangan MA dalam manajemen pengadilan Islam berlawanan dengan tradisi eksklusif kontro Departemen Agama.Bab ketiga menetapkan kekuatan Pengadilan Islam. Ayat 49 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama memiliki tanggungjawab dan wewenang untuk menilai, memutuskan dan menyelesaikan permasalahan pertama kali antara umat muslim di daerahnya, terdiri dari: a) pernikahan, b) warisan, wasiat, dan hibah yang dijalankan menurut hukum Islam, c) yayasan amal.
Bab keempat mengatur prosedur yang dijalankan pada pengadilan Islam. Bagian pertama pada bab ini mencakup ketentuan umum, diawali dengan peraturan umum, bahwa tatacara hukum yang diikuti pengadilan Islam yang tercakup dalam kode prosedur sipil dan dapat diterapkan pada pengadilan sipil, kecuali seperti yang secara spesifik tercantum di UU. Bagian pertama ini juga mencakup ketentuan mengenai media penerapan kekuatan hokum secara umum seperti ketentuan unik pengadilan Islam.

Analisis Atas Lahirnya UU Pengadilan Agama
Untuk menjelaskan politik hukum pemerintahan Orde Baru terhadap lembaga Peradilan Agama, maka perlu dipahami mulai dari sejarah hukum terutama yang berkaitan dengan lembaga itu, ide lahirnya, persiapan, penyusunan samapai pada bentuk final produk hukum itu. Usaha ini menjadi penting untuk melihat secara pasti refleksi politik pada masa rezim Soeharto.
Dalam perspektif produk hukum, ada dua proses politik dalam suatu masyarakat, untuk pembangunana hukum, yaitu: Pertama, produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat disebut ortodok, dimana karakter ini bersifat kaku dan kurang terbuka bagi perubahan, dengan demikian hukum menjadi tanggap terhadap tuntunan kebutuhan masyarakat. Kedua, produk hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum menentukan persepsi sosial para pengambil kebijakan.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karakteristik produki-produk serta proses pembuatannya. Keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi sproduk hukum, untuk kasus Indonesia, kita dapat mencatat banyak contoh. Kasus lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dapat diambil sebagai contoh. Kedua Undang-Undang tersebut sama-sama lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik anatara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda.
Undang-Undang Perkawinan lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi. Dari kedua Undang-Undang yang lahir pada periode hubungan yang berbeda itu kita dapat melihat betapa keadaan politik tertentu telah menetukan pilihan atas materi produk hukum.RUU tentang perkawinan yang diajukan pada periode konflik politik ternyata menyambut protes dan demonstrasi karena materinya memuat banyak hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat itu pemerintah yang tidak mesra dengan Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut akidah Islam harus ditolak, sementara umat Islam sendiri yang sedang “agak” oposan dengan pemerintah mencurigai RUU tersebut sebagai upaya mengucilkan Islam.
Maka, jelas bahwa politik saling curiga dan konflik itu melahirkan rancangan produk hukum yang juga menggambarkan kesalingcurigaan. Akan terlihat sebaliknya pada kasus RUU tentang Peradilan Agama (yang kemudiann menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989) yang lahir pada saat hubungan antara pemerintah dan umat Islam secara politis saling akomodasi ini ternyata dapat dukungan luas dari umat Islam karena hal itu seakan-akan menjadi kado mewah bagi umat Islam. Pada saat musim akomodasi Undang-Undang pemerintah tidak ragu untuk mengajukan RUU yang sangat didambakan oleh umat Islam.Itulah bukti, untuk kasus Indonesia, betapa keadaan politik tertentu memberi jalan bagi munculnya pembuatan hukum yang tertentu pula.
Dalam masalah produk hukum terutama mengenai Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) mengakui secara tegas Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman.Oleh sebab itu secara formal dilihat dari aspek yuridis, konfigurasi politik Orde Baru dapat disebut berada dalam demokratis dan produk hukumnya yang responsif.
Dari perspektif pembentukan hukum, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dapat disebut responsif karena aspirasi seluruh masyarakat tertampung dan cenderung akomodatif terhadap kebuthan dalam bidang peradilan.Sedangkan dari segi implementasi perundangannya, bersifat fakultatif dan legitimatif. Regulatif karena ia lebih banyak mengatur etika peradilan, prosedural dan praktis operasional.
Politik akomodasi legislatif yang dilakukan pemerintah, yaitu untuk mencari simpati dan dukungan dari umat Islam, karena pada masa itu bersamaan dengan munculnya “Revolusi Islam Iran” (tahun 1979) yang merupakan simbol kebangkitan Islam dunia yang dapat mempengaruhi politik Soeharto.UU ini mengatur tiga skema berbeda untuk tiga macam perceraian, talak cerai, gugat cerai, dan perceraian karena perzinaan. Prosedur talak cerai yang secara umum mengikuti urutan berkenaan porsi pada peraturan pelaknsanaan yang dikeluarkan pada 1975 untuk menerapkan UU penikahan, membiarkan suami  menyajikan penyangkalan atau talak “saya ceraikan kamu” di pengadilan, di bawah pengawasan pengadilan.
Menurut ajaran Islam, seorang suami memiliki kekuasaan penuh untuk menalak istrinya kapanpun dengan alasan apapun.Di bawah UU, mengikuti UU 1975, seorang suami yang ingin menalak istrinya harus menbuat permohonan meminta pengadilan memanggil saksi untuk pengucapan talaknya.Dalam suatu perubahan yang sederhana yang dibuat untuk lebih melindungi istri, suami harus mengisi permohonan pada pengadilan di kabupaten dimana istrinya tinggal, dari tempat tinggal dia sendiri, seperti diijinkan pada peraturan 1975.
Permohonan suami harus menyajikan nama, umur, tempat tinggal kedua pihak, dan juga alasan utama talak. UU tidak menentukan apa alasan yang dapat dierima sebagai alasan yang cukup. Pengadilan harus menilai permohonan dalam sesi tertutup dalam 3 hari setelah terdaftar pada petugas.Dalam menjaga kebijakan dalam rangka mencoba mengurangi frekuensi perceraian, pengadilan ditugaskan mencoba mendamaikan pasangan pada saat pendengaran pertama. Apabila pasangan tidak bias didmaikan dan adaa alas an yang memadai maka pengadilan memutuskan bahwa permohonan dikabulkan.
Undang-Undang ini mengijinkan istri mengajuksn banding terhadap putusan pengadilan yang menyatakan bahwa dasar perceraian memang ada. Hanya setelah keputusan final melalui semua proses banding atau jatuh tempo waktu pengisian banding pengadilan menjadwalkan pendengaran tujuan penyaksian talak suami. Tatacara ini di tetapkan dengan surat edaran MA yang dikeluarkan1985.
Pengaruh pembaharu Islam pada persiapan pembuatan UU mengindikasikan pergantian yang lebih general pada posisi Islam pembaharu vis-à-vis Negara Indonesia. Sebaliknya, pada tahun 1970 para pejabat eselon atas kementerian agama di dominasi para pembaharu, yang paling terkenal adalah H. Munawir Sjadzali, Menteri Agama 2 periode, yang mengawal UU ini melalui dewan legislatif yang secara resmi mengajukan proposal pada 1980 dengan mengundang banyak kontroversi. Dulu, hakim pengadilan tradisional dilatih di pesantren,  namun sekarang pengadilan diisi para lulusan institusi islam negeri yang dinyatakan berorientasi pembaharuan
BAB 3 Kesimpulan
Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Sumber-sumber hukum islam:
a. Al Qur’an merupakan sumber hukum utama umat islam.
b. Hadits
merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an.
c. Ijtihadmerupakan sumber hukum setelahAl
Qur’an dan Hadits.

Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja
Fungsi hukum islam:
a. Fungsi ibadah
utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
b.Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah hukum islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia.
c. Fungsi Zawajir, fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum.
d. Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera.

Sejarah UU Pengadilan Agamausaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama sejak 1961.
Dalam menjalankan tugas pengelolaan zakat adalah Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengantingkatnya.
Sejarah Hukum PerkawinanLahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan peraturan perundang– undangan yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagidengan politik hukum dan kebutuhan masa kini.

DAFTAR PUSTAKA








Post a Comment for "Sumber - sumber hukum islam"