Sumber - sumber hukum islam
BAB 1
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Pendidikan agama islam sangat penting dalam kehidupan manusia khususnya umat muslim, pada kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan pendidikan mengenai agama islam agar umat muslim dapat menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah SWT.
Pendidikan agama islam sangat penting dalam kehidupan manusia khususnya umat muslim, pada kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan pendidikan mengenai agama islam agar umat muslim dapat menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah SWT.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Sumber-sumber Hukum Islam?
2. Apa Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat?
3. Bagaimana Kontribusi Umat Islam dalam Penegakan Hukum?
1. Apa Sumber-sumber Hukum Islam?
2. Apa Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat?
3. Bagaimana Kontribusi Umat Islam dalam Penegakan Hukum?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam
2. Untuk mengetahui fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat
3. Untuk mengetahui kontribusi umat islam dalam penegakan hukum
1. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam
2. Untuk mengetahui fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat
3. Untuk mengetahui kontribusi umat islam dalam penegakan hukum
BAB 2
Pembahasan
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari
kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum.
Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah.Selain menggunakan
kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan
bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga
merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada
hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Secara
sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini
dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat
peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah
laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat
semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah
peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat,
baik di dunia maupun di akhirat.
A. Al Qur’an
A. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan
secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An
Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam
yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum
yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT,
yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnan-NYA.
Al
Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
- Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu
ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
- Tuntunan
yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi
pekerti yang baik serta etika kehidupan.
- Tuntunan
yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
- Tuntunan
yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan
kualitas.
1.
Segi Kuantitas
Al
Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa
kata
2.
Segi Kualitas
Isi
pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
- Hukum
yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah
dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu
yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
- Hukum
yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah,
dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan
disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
- Hukum
yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki
sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila
ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
- Hukum
yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji,
nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan tuhannya.
- Hukum
yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian
perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan
lain sebagainya.
Hukum
yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
- Hukum
yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu
perkawinan dan warisan
- Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang
berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian
dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara
dengan tertib
- Hukum
yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan
keputusan, persaksian dan sumpah
- Hukum
yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan
hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
- Hukum
yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan
Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
- Hukum
yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq
dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci
dan ada yang garis besar.Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan
masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan.Pada bagian ini banyak hukum bersifat
ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang
bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan zaman.Sedangkan ayat ahkam
(hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti
perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya.Ayat-ayat Al Qur’an
yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan
seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai
dengan perkembangan zaman.Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan
hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah
sejarah dan lain-lainnya.Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut
jumlahnya banyak sekali.
B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir).Hadits merupakan sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an.Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati
hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW
dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya:
“ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh
perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan
akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap
dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan
budi pekerti yang sangat mulia.
Hadits sebagai sumber
hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya:
“Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”.
(HR Imam Malik)
Hadits
merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
- Memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al
Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya
Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta,
sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an onlines di
google)
Artinya:
“…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat
diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
- Memberikan
rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat
umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat,
dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak
menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak
merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan
haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam
haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai,
darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut: Artinya: “Diharamkan
bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak
dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan.Kemudian datanglah hadits
menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan
belalang. Sabda Rasulullah SAW:
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا
الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
- Menetapkan
hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya,
cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali,
salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ
اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو
داود و البيهقى)
Artinya:
“Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak
tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud,
dan Baihaqi)
Hadits
menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
- Hadits
Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang
dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshohehan suatu hadits
- Hadits
Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak
begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak
terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits
yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu
berat atau tidak terlalu penting
- Hadits
Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan
mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau
sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun
syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
- Rawinya
bersifat adil
- Sempurna
ingatan
- Sanadnya
tidak terputus
- Hadits
itu tidak berilat, dan
- Hadits
itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an
maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta
berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan.Hasil
ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog
nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz
diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan
menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan
hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul
bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?”
Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”.Rasul bertanya lagi,
“seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”,
Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian,
Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah
mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam setelah Al Qur’an dan hadits
.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
- mengetahui
isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
- memahami
bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan
hadits
- mengetahui
soal-soal ijma
- menguasai
ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam
menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah
SAW bersabda:
اِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ
وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat
sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat
tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal
ini Rasulullah SAW bersabda:…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara
ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan
orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah
SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan.
Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya:
“Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri
diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang
mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam
mujtahid.Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum
Islam.Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian
membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.Qiyas (analogi)
adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian
lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat
atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan
wiski.Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al
Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu
sama-sama memabukkan.Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al
Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar
yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.Sebelum mengambil keputusan dengan
menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
- Dasar
(dalil)
- Masalah
yang akan diqiyaskan
- Hukum
yang terdapat pada dalil
- Kesamaan
sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk
Ijtihad yang lain
- Istihsan/Istislah,
yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret
dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau
kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
- Istishab,
yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari
hukum tersebut
- Istidlal,
yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara
kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi
adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini
ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan
hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan
tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
- Maslahah
mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak
diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah
itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar
kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang
telah ditetapkan.
- Al
‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya
- Zara’i,
ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau
untuk menghilangkan mudarat.
FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
Peranan
hokum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam
pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah
SWT.Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur
hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan
dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hokum (Allah) dengan subyek dan
obyek hukum (perbuatan mukallaf). Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus,
tetapi secara bertahap.Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana
agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Berkaca
dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam
berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial. Hukum Islam juga
memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan tali kendali
terlepas.Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa
pelakunya.Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya
tersebut.Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan
lewat tahapan pengharaman riba dan khamar.Fungsi ini dapat disebut amar
ma’ruf nahi munkar.Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam,
yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
c.
Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina,
yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum.Qishash, Diyat,
ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak
pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah),
dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana
tersebut. Adanya sanksi hokum mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana
pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta
perbuatan yang membahayakan.Fungsi hokum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d.
Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk
mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga
terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal
tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail
sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni
masalah muamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam masalah ini hanya
menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan
kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing,
dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai
dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke
empat fungsi hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk
bidang hokum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait. (Ibrahim
Hosen, 1996 : 90).
KONTRIBUSI
UMAT ISLAM DALAM PENEGAKAN HUKUM
Kontribusi
umat Islam dalam perumusan dan penegakan hokum pada akhir-akhir ini semakin
tampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hokum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji.
A. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum
dilakukan Perubahan atau Amandemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang
Tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 65 Ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya
terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat
atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta
Penjelasan.
Setelah
dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 Bab, 37 Pasal, 194 Ayat, 3
Pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Dalam Risalah Sidang
Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi
Tanpa Ada Opini.
Sejarah
Awal
Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada
tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa
sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir.
Soekarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama
Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia
Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan
menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat
"dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka
naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945.Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia
disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK).Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya
diperuntukkan untuk tanah Jawa saja.Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera.Masa
Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945.Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan
UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Periode Berlakunya UUD 1945, 18
Agustus 1945- 27 Desember 1949
Dalam
kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa
KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal
14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel
("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan
perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.Periode berlakunya
Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950.Pada masa ini sistem
pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk
negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara
bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus
urusan dalam negerinya.
Periode UUDS 1950 17 Agustus 1950 -
5 Juli 1959
Pada
periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering
disebut Demokrasi Liberal.Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti,
akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih
memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.Periode kembalinya ke UUD
1945 5 Juli 1959-1966.Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959
dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal
menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD
1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara
1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada
masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
-MPRS
menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
-
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai
Komunis Indonesia
Periode UUD 1945 masa orde baru 11
Maret 1966- 21 Mei 1998
Pada
masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang
dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33
UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan
sumberalam kita.
Periode kembalinya ke UUD 1945 5
Juli 1959-1966
Karena
situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur
kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah
satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar,
menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu
itu.Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil
Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
-
MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
- Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
- Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Periode UUD 1945 masa orde baru 11
Maret 1966- 21 Mei 1998
Pada
masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang
dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33
UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam
kita.
Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober
1999
Pada
masa ini dikenal masa transisi.Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan
oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
Periode UUD 1945 Amandemen
Periode UUD 1945 Amandemen
Salah
satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada
masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan
di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya
pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan
multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan
perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara
demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di
antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan
kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan
presidensiil.
Dalam
kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua
UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9
November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
A.
Sejarah Hukum Perkawinan
Lahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan
peraturan perundang– undangan yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu
sudah tidak cocok lagi
dengan
politik hukum dan kebutuhan masa kini. Oleh karena itu, undang-undang
ini
harus dipandang sebagai hasil proses penyempurnaan konsepsi-konsepsihukum
dimasa lalu. Suatu perwujudan dari berbagai keinginan dalammenciptakan suatu
hukum perkawinan yang bersifat “nasional” dan sesuai dengan kebutuhan hukum rakyat
Indonesia dimasa kini dan masa mendatang.Kelahiran UUP bukan
sekedar bermaksud menciptakan suatu hukumperkawinan yang bersifat dan berlaku
“nasional” dan “menyeluruh”, melainkanjuga dimaksudkan dalam rangka
mempertahankan, lebih menyempurnakan,memperbaiki atau bahkan menciptakan
konsepsi-konsepsi hukum perkawinanyang baru sesuai dengan perkembangan dan
tuntutan zaman bagi rakyat Indonesiayang pluralistik. Dalam kaitan ini,
penjelasan umum UUP antara lain menyatakandalam undang-undang ini ditentukan
prinsip-prinsip atau asas-asas mengenaiperkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang telahdisesuaikan dengan perkembangan zaman
dan tuntutan zaman.Cita unifikasi yang telah ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial Belanda
menjadi
aktual lagi dan bersifat nasional.
Pemerintah kolonial belanda selalumengalami
kegagalan untuk menciptakan unifikasi hukun di Indonesia.Padadasarnya rencana
hukum tersebut mengarah dan berlandaskan kepada hukumBarat.Menggingat bangsa
Indonesia merupakan bagian terbesar penduduk dantelah memiliki hukumnya sendiri,
sudah tentu merasa keberatan untuk tundukpada hukum Eropa yang merupakan bagian
kecil saja dari penduduk HindiaBelanda pada waktu itu.hubungan hukum perkawinan
dipengaruhi secara mendalam oleh paham-pahamkeagamaan dan kemasyarakatan.Tahun
1974 Indonesia telah berhasil menciptakan suatu hukumperkawinan yang berlaku
bagi semua warga negara Indonesia dan dengan tanpamembedakan golongan penduduk
dan daerah lagi, dengan mengatasi persoalanpersoalanyang selama ini dinilai
krusial.Saat ini hukum di Indonesia telahberhasil menciptakan suatu unifikasi
hukum perkawinan yang bersifat nasionalsebagaimana diatur dalam UUP, namun
masih terbatas pada hal-hal yang bersifatadministratif atau formal saja,
selebihnya masih diserahkan kepada hukumnyamasing-masing.Keinginan pemerintah
untuk hukum perkawinan yang bersifat“nasional”, sudah mulai dirintis sejak
tahun 1950.
Pada masa lalu pembaharuanterhadap hukum perkawinan
selalu menemui kegagalan berhubung subjek danobjek yang diatur hukum perkawinan
berkaitan erat dengan kehidupan socialkeagamaan, yang tidak mudah untuk
disatupadukan.Ini berarti pembaruan hukumperkawinan nasional harus dilakukan
penuh hati-hati, sehingga tidakmenimbulkan kekecewaan golongan penduduk
lainnya.Semenjak tahun 1950 pemerintah telah memberikan perhatiannya
padakeluarga, terutama sekali yang berkaitan dengan Undang-UndangPerkawinan.
Usaha pembaruan hukum keluarga ini mengalami banyak kegagalanberhubung denngan
sifatnya yang sangat sensitif dan sangat erat sangkut pautnyadengan
faktor-faktor spiritual dan kebudayaan bangsa, yang menyebabkandengan Surat
Perintah Menteri Agama No B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950oleh pemerintah
dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan HukumPerkawinan, Talak dan Rujuk
bagi umat Islam. Panitia ini menyusun suatuRancangan
Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semuakenyataan hukum yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu.Karena keanggotaannya terdiri
dari atas orang-orang yang dianggap ahlimengenai hukum umum, hukum Islam dan
Kristen dari berbagai aliran yangdiketuai oleh Tengku Hasan.
Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu
Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang
berlaku untuk semuagolongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang
mengatur hal-hal yangmengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada
tanggal 1 Desember1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan
Umumkepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya
masingmasingmemberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal
tersebutpaling akhir pada tanggal 1 Februari 1953. Rancangan yang dimajukan itu
selainberusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba
memperbaikikeadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
1.
Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak,untuk mencegah
kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagilaki-laki dan 15 bagi
perempuan;
2.
Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalamkehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalammasyarakat;
3.
Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yangberlaku bagi orang
yang bersangkutan dan diatur sedemikian hinggadapat memenuhi syarat keadilan;
4.
Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadimilik bersama;
5.
Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkanalasan-alasan
yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalamperaturan Hukum Islam;
6.
Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat danmengesahkan anak,
hak dan kewajiban orang tua terhadap anak,pencabutan kekuasaan orang tua dan
perwalian.
mengenai soal undang-undang perkawinan itu. Tanggal
24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk
dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953
Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang Perkawinan menurut sistem yang
berlaku:
1.
Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum
bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama;
2.
Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut agama
masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen
Protestan;
3.
Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk suatu golongan agama itu.
Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat
Rancangan Undang-
Undang
tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh Menteri Agama
kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan masih akan ada
amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai permulaan tahun 1958 belum ada
tindakan-tindakan apapun dari pemerintah Pemerintah juga selama bertahun-tahun
tidak memberikan tanggapansampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita
parlemen di bawah pimpinanSoemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting
diantaranya, setidak-tidaknyabagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang
menggemparkan bahwa didalamusul inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan
untuk menjalankan monogami.
Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi
dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam.Justru
dari pihak Islamtradisional terdapat keraguan apakah bagi orang-orang Islam
diperlukan hukumperkawinan.Bukankah peraturan-peraturan yang sekali telah
diberikan Tuhan,sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat
diperuntukkanuntuk segala zaman dan negara.Bahan-bahan baru untuk didiskusikan
yaknirencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan,
dalam bulan Oktober1959, Rancangan Undang-Undang Soemari tersebut ditarik
kembali oleh parapengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari
sejumlah anggotaDPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk
dibicarakan. Paraanggota Partai Islam menngadakan perlawanan, terutama terhadap
asas monogamy yang dikandung dalam Rancangan tersebut.Sudah barang tentu
sebagai organisasikaum perempuan memprotes argumentasi yang dipergunakan
untukmembenarkan poligami.Pembentukan UUP berproses sangat panjang dan
kemudiandimusyawarahkan dengan sungguh isi Rancangan Undang-Undang tentangPerkawinan,
agar dapat menampung aspirasi masyarakat dan memberikanformulasinya secara
teknis yuridis.
Dalam memberikan isi kepada RancanganUndang-Undang
tentang Perkawinan tersebut diusahakan untuk mempertemukanaspirasi hukum yang
berbeda-beda itupun tidak bisa dilakukan materi yangdipermasalahkan akan
dicabut.Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa dilihat dari sudut fungsi
hukumsebagai a tool of social engineering, Undang-Undang tentang
Perkawinan initidak sesuai dengan perkiraan yang didasarkan pada kemampuan
hukum untukmenjalankan a tool of social engineering di bidang-bidang
yang berkaitan eratdengan kehidupan kebudayaan dan spiritual masyarakat, namun
dilihat dari prosesperkembangan masyarakat menuju masyarakat industri,
pengundang-undangan inipatut dicatat sebagai suatu kemajuan yang besar.
Undang-Undang tentangPerkawinan ini memuat
ketentuan-ketentuan yang apabila dinilai dari sudut tipekeluarga yang
dikehendakinya, bisa digolongkan pada keluarga yang cocok untukmasyarakat
modern industrial.Apabila ditempatkan pada latar belakang sebagaibentuk
perkawinan di Indonesia yang masih mendasarkan diri pada ikatan danstruktur clan
(kesukuan), maka kehadirannya dapat dinilai sebagai sarana untukmelakukan
perubahan sosial. Perubahan sosial di sini terjadi dengan caramelakukan
perombakan-perombakan pada struktur hubungan sosial.Apabila dilihat dari segi
peranannya bagi pembangunan nasional, hukumperkawinan yang baru ini bisa
dipandang sebagai satu bangunan yang didirikan ditengah-tengah masyarakat yang
memberikan peringatan tentang berbagai janjiyang termuat dalam Undang-Undang
Perkawinan tersebut.
Ketentuan-ketentuanyang tercantum didalamnya mungkin
belum seluruhnya atau secara sempurnadapat dijalankan dalam masyarakat
Indonesia sekarang ini dan diingatkan pulaagar berhati-hati dalam membuat hukum
yang menyangkut bidang kehidupanyang bersifat pribadi, apalagi jika hukum itu
hendak melakukan Perombakanperombakandibidang tersebut..Bagi suatu Negara dan
Bangsa Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional dan
dengan landasan falsafah Pancasila danUndang-Undang Dasar 1945, maka
Undang-Undang Perkawinan ini harusdapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila danUndang-Undang Dasar 1945 serta mengandung di
dalamnya unsur-unsurdan ketentuan hukum masing-agama agama dan kepercayaannya
itu.Sebagai suatu Undang-Undang yang nasional sifatnya dan yg meliputiseluruh
warga negara Indonesia, merupakan suatu penggarisan lanjutandari TAP MPR No.
IV/MPR/1973 tentang GBHN, yang antara lainmenentukan bahwa seluruh kepulauan
Nusantara merupakan satu kesatuanhukum, dalam arti bahwa hanya ada satu hukum
dalam hukum nasionalyang mengabdi kepada kepentingan nasional. Ketunggalekaan
dalamHukum Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkinkan
adanyakebinekaan.Undang-Undang tentang Perkawinan ini merupakan sutaurefleksi
dari pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 1973,tentang
menyinggung Undang-Undang yang sekarang diselesaikanbersama dan disahkan oleh
DPR yg terhormat.
Undang-Undang tentangPerkawinan ini memiliki
landasan bagi suatu perkawinan sebagai suatulembaga yang suci dan luhur oleh
semua agama dan cita budaya yangmengilhami alam fikiran, atas dasar mana
dibangun suatu keluarga yangkekal, sejahtera, dan bahagia diwujudkan dalam asas
monogami yangmemandang poligami sebagai exceptional, dan restriktif dan
perceraianharus dihindarkan, dan terdapat sesuatu untuk menaikkan
kedudukan,harkat, dan martabat wanita, sedangkan pengaturan itu sejalan
dengantugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kesucian
dankeseluruhaun tujuan perkawinan.Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan,
walaupun belum sempurnadan pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, tetapi
telah memberikan suatu pegangan.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Zakat
Sebagaimana dipahami bahwa zakat merupakan rukun Islam yang
ketiga. Kata “zakat” itu sendiri berasal dari kata “al-zaka”,
artinya: menumbuhkan dan berkembang (QS. al-Baqarah [2]: 276),memberi
keberkahan (QS. Saba’ [34]:39),dan menyucikan (QS. al-Taubah [9]:103).
Dalam Al-Qur’an terdapat 32 kata “zakat” bergandengan dengan kata “shalat” dan
sebanyak 82 kata dengan makna yang sinonim, yaitu shadaqah dan infaq.Sedangkan
zakat menurut terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh
Allah Swt. untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq)
yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Selain itu, bisa juga berarti sejumlah harta
tertentu dari harta tertentu yang diberikan kepada orang yang berhak
menerimanya dengan syarat-syarat tertentu.
Zakat dalam Perspektif Undang-Undang No.
38 Tahun 1999
Menurut Pasal 2 Undang-Undang ini
bahwa yang menjadi wajib zakat adalah setiap warganegara Indonesia yang
beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim
berkewajiban menunaikan zakat.Dalam menjalankan kewajiban tersebut, maka
pemerintah turut langsung terlibat memberikan perlindungan, pembinaan, dan
pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat.
Dalam menjalankan tugas tersebut Badan Amil Zakat dan
Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya
(Pasal 9) dan sekaligus sebagai pengawas (Pasal 18), yaitu:
1. Badan amil zakat nasional oleh Presiden
atas usul Menteri;
2. Badan
amil zakat provinsi oleh gubernur atas usul kepala wilayah depatemenagama
provinsi;
3.
Badan amil zakat kabupaten/kota oleh bupati/walikota atas usul kepala
kantordepartemen agama kabupaten/kota;
Sejarah UU Pengadilan Agama
Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan
Agama telah dimulai oleh Departemen Agama sejak 1961, yaitu sejak dibentuknya
sebuah panitia dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961. Dalam masa
28 tahun sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (1961-1989), kegiatan persiapan RUU PA telah menghabiskan waktu selama 27
tahun (1961-1988) dan pembahasannya di DPR RI selama satu tahun, yaitu sejak
diantarkannya RUU tersebut melalui amanat Presiden Nomor R.06/PU/XII/1988
tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang DPR RI guna mendapatkan
persetujuan, sampai disetujui dalam sidang pleno DPR RI pada tanggal 14
Desember 1989.
Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA dapat
dibagi kedalam tiga periode, yaitu:
1.
Periode Pertama (1961-1971), dalam periode ini kegiatan terbatas dalam
lingkungan intern Departemen Agama sendiri dan belum dilakukan langkah-langkah
keluar
2.
Periode Kedua (1971-1981), dalam periode ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar
Departemen Agama, namun belum diperoleh sambutan dari instansi terkait maupun
yang langsung menyetujui gagasan dipersiapkannya RUU PA
3.
Periode Ketiga (1981-1988), dalam periode ini gagasan mempersiapkan RUU PA yang
telah lama didambakan oleh Departemen Agama langsung mendapat persetujuan dari
instansi terkait yang lain. Persetujuan tersebut dimulai oleh Mahkamah Agung
pada 1981 dan kemudian oleh Departemen Kehakiman pada 1982, yaitu melalui
Keputusan Menteri Kehakiman tahun 1982 No. G-164-PR-04.03/1982 yang berisi
keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun rancangan tersebut.
Tertunjuk sebagai ketua tim adalah Prof. Dr. Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan
Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung saat itu).
Dengan keluarnya keputusan Menteri Kahakiman tahun 1982 yang
berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun Rancangan
Undang-Undang mengenai Peradilan Agama, maka rancangann Undang-Undang mengenai
peradilan ini mulai ditanggapi. Dengan menunjuk Prof. Dr. Bustanul Arifin
sebagai ketua tim pembahas RUU ini. Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku
secara yuridis formal dalam negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 Desember
1988, Presiden Republik Indonesia menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR
untuk dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-Undang menggantikan semua
peraturan perundang-undangan tentang peradilan agama yang tidak sesuai lagi
dengan UUD 1945 dan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
Harapan umat muslim bahwa orde baru lebih bersahabat
daripada orde lama ternyata salah. Pada 1973, Pengadilan Islam mengalami
perjuangan untuk mendukung eksistensi kepentingan umat Islam. Juli pada tahun
itu diajukan sebuah draft hukum pernikahan yang bersifat sekuler dan secara
efektif menghapus sistem Peradilan Islam. Departemen Agama maupun
organisasi Islam tidak diikutsertakan pada pembuatan draftnya. Langkah tersebut
merupakan dorongan dari para penasehat presiden yang dipimpin oleh Mr. Ali
Mustopo dan grup katolik yang didominasi tim peneliti, Pusat Studi Strategi dan
pihak dunia internasional. Kelompok ini tidak hanya fokus pada Peradilan Islam,
tetapi juga menemukan bahwa isu undang-undang pernikahan memberikan kesempatan
untuk menyerang politik islam.
Draft ini memberikan satu paket peraturan pernikahan dan
perceraian yang dapat diterapkan di Indonesia pada semua agama apapun. Hal ini
mensyaratkan adanya registrasi pada penikahan dan persetujuan pengadilan untuk
cerai dan poligami. Baik perceraian ataupun pernikahan poligami, akan menjadi
subjek untuk dibatasi secara katat. Penyelenggaraan hukum dipercayakan kepada
Pengadilan Sipil, yang telah mengurangi yurisdiksi pengadilan-pengadilan di
pulau terluar sebatas masalah warisan dan membiarkan Pengadilan Islam di Jawa,
Madura dan Kalimantan Selatan untuk tidak menpunyai tugas.
Usulan ini dihadapi dengan kemarahan kaum muslim oposisi
baik dari dalam maupun luar legislatif. Pada sautu waktu ribuan pemuda muslim
turun ke lantai dewan legislatif dan miter digunakan untuk mengamankan. Konflik
mulai reda ketika pimpinan militer mengusulkan diskusi di luar proses formal
legislatif dengan kaum muslim. Partai-partai saat itu menyetujui adanya revisi
rancangan undang-undang dimana kaum muslim menerima permintaan batasan hukum
pada perceraian yang semena-mena dan poligami, dengan perjanjian bahwa
substansi hukum pernikahan tidak akan diubah dan peran Pengadilan Islam tidak
dikurangi. Akhirnya sebuah undang-undang disetujui oleh badan leagislativee
pada tahun 1973 dan ditandatangani presiden sebagai UU tentang pernikahan tahun
1974.
Sebelum ditetapkan sebagai Undang-Undang, sebuah peraturan
harus melalui adanya proses penyusunan naskah akademik peraturan, yaitu konsep
awal yang menggambarkan tentang garis besar perundang-undangan yang akan
dibuat. Naskah akademik tersebut juga dimaksudkan untuk menguraikan secara
mendalam berbagai aspek yang berkaitan dengan sebuah rancangan peraturan
sehingga dapat mudah difahami pokok-pokok fikiran yang menjadi bahan dan dasar
sebuah rancangan peraturan.
Keberadaan naskah akademik inilah yang menjadikan adanya acces
acountabelities dan responsibelities (keterbukaan dan tanggung
jawab) yang melembaga termasuk kontrol sosial dari masyarakat, baik melalui
lembaga swadaya, individu, kelompok, pers, masyarakat hukum, dan komponen
masyarakat lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa proses berdemokrasi juga
diberlakukan terutama dalam proses legislasi, dan inilah makna demokratisasi
hukum atas lahirnya RUU Pengadilan Agama menjadi UU Pengadilan Agama di
Indonesia sekaligus lahirnya UU tentang pernikahan tahun 1974.
Penyusunan RUU tersebut banyak mendapat tantangan dari
berbagai pihak untuk menggagalkannya. Setidaknya dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, mengatakan bahwa dalam rangka menuju
unifikasi hukum di Indonesia, Peradilan Agama tidak diperlukan lagi karena akan
ada dualisme dalam sistem peradilan di Indonesia. Kalaupun ada Peradilan Agama,
maka harus berinduk kepada Peradilan Umum.Kelompok ini ingin mempertahankan status
quo, dimana Peradilan Agama tidak mempunyai kebebasan untuk
mengimplementasikan kompetensinya, bahkan ingin agar Peradilan Agama sebagai
subordinat dari Peradilan Umum.
Kelompok kedua, adanya yang menginginkan agar Peradilan
Agama dibubarkan dengan dalih umat Islam mengurus sendiri hukum Islam yang
dianut.Orang-orang ini menolak karena berpendapat bahwa agama itu dipisahkan
dari campur tangan negara (sekuler), termasuk intervensi negara dalam soal
mengurus Peradilan Agama. Partai Demokrasi Indonsia (PDI), kelompok non muslim
dan kelompok sekuler bahkan sebagian pemimpin-pemimpin Islam juga keberatan
dengan RUU PA ini. Bahkan partai berkuasa Golkar terpecah menjadi dua kelompok,
kelompok yang setuju dan kelompok yang menentang.
Kelompok ketiga, menganggap adanya RUU PA menjadi bentuk
diskriminasi tersendiri terhadap terhadap kelompok lainnya sehingga eksistensi
Peradilan Agama harus dibibarkan.Oleh karena itu, muncullah tuduhan bahwa RUU
PA merupakan strategi untuk memberlakukan kembali Piagam Jakarta.
Dari ketiga kelompok di atas, pada prinsipnya sama yakni
keberatan terhadap Peradilan Agama. Kelompok pertama melihat dari segi politik
hukum yang berkembang sejak masa penjajahan dengan memberlakukan Peradilan
Agama hidup tanpa eksistensi yang jelas.Tanggapan
kelompok ketiga mengaitkan dengan rencanan menghidupkan kembali Piagam Jakarta
yang pernah direvisi terutama menyangkut kalimat: “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama
menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Kelompok ini terlalu berlebihan
karena mereka khawatir terhadap rencana pembentukan Negara Islam.
UU Peradilan Agama Tahun 1989
UU ini terdiri dari 108 bagian terbagi menjadi 7 bab. Segala
uraian dilengkapi penjelasan perbagian.Bab pertama tentang “ketentuan umum” dan
terdiri bagian pada definisi, status, lokasi, dan organisaasi serta pengadilan
Islam.Ini mengartikan peradilan agama sebagai pengadilan bagi penganut Islam.
Pengadilan ini terdiri dari pengadilan agama, ditandai pada bab selanjutnya,
sebagai pengadilan dari contoh pertama, dan pengadilan tinggi agama yang
menjalankan fungsi pengadilan banding yang ada di 18 dari 27 provinsi yang ada
masa itu.
Bab kedua dari UU tersebut mengatur struktur dan komposisi
dari pengadilan.Di antara ketentuan ini, ada peraturan yang mengatur perjanjian
kualifikasi hakim.Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim berada di
tangan presiden sebagai kepala negara berdasarkan rekomendasi Menteri Agama dan
peresetujuan MA. Kekuasaan memberikan wewenang pada MA atas seleksi hakim,
sebagaimana yang telah dijalankan beberapa tahun sebelum UU diajukan,
memformalkan campurtangan MA dalam manajemen pengadilan Islam berlawanan dengan
tradisi eksklusif kontro Departemen Agama.Bab ketiga menetapkan kekuatan
Pengadilan Islam. Ayat 49 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama memiliki
tanggungjawab dan wewenang untuk menilai, memutuskan dan menyelesaikan
permasalahan pertama kali antara umat muslim di daerahnya, terdiri dari: a)
pernikahan, b) warisan, wasiat, dan hibah yang dijalankan menurut hukum Islam,
c) yayasan amal.
Bab keempat mengatur prosedur yang dijalankan pada
pengadilan Islam. Bagian pertama pada bab ini mencakup ketentuan umum, diawali
dengan peraturan umum, bahwa tatacara hukum yang diikuti pengadilan Islam yang
tercakup dalam kode prosedur sipil dan dapat diterapkan pada pengadilan sipil,
kecuali seperti yang secara spesifik tercantum di UU. Bagian pertama ini juga
mencakup ketentuan mengenai media penerapan kekuatan hokum secara umum seperti
ketentuan unik pengadilan Islam.
Analisis Atas Lahirnya UU Pengadilan Agama
Untuk menjelaskan politik hukum pemerintahan Orde Baru
terhadap lembaga Peradilan Agama, maka perlu dipahami mulai dari sejarah hukum
terutama yang berkaitan dengan lembaga itu, ide lahirnya, persiapan, penyusunan
samapai pada bentuk final produk hukum itu. Usaha ini menjadi penting untuk
melihat secara pasti refleksi politik pada masa rezim Soeharto.
Dalam perspektif produk hukum, ada dua proses politik dalam
suatu masyarakat, untuk pembangunana hukum, yaitu: Pertama, produk hukum
yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat disebut
ortodok, dimana karakter ini bersifat kaku dan kurang terbuka bagi perubahan,
dengan demikian hukum menjadi tanggap terhadap tuntunan kebutuhan masyarakat. Kedua,
produk hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum
menentukan persepsi sosial para pengambil kebijakan.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap
penegakan hukumnya dan karakteristik produki-produk serta proses pembuatannya.
Keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi sproduk hukum, untuk kasus
Indonesia, kita dapat mencatat banyak contoh. Kasus lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dapat diambil sebagai contoh. Kedua Undang-Undang
tersebut sama-sama lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik anatara
pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang
melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda.
Undang-Undang Perkawinan lahir dalam keadaan politik konflik
dan saling curiga, sedangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 lahir ketika
hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi. Dari kedua
Undang-Undang yang lahir pada periode hubungan yang berbeda itu kita dapat melihat
betapa keadaan politik tertentu telah menetukan pilihan atas materi produk
hukum.RUU tentang perkawinan yang diajukan pada periode konflik politik
ternyata menyambut protes dan demonstrasi karena materinya memuat banyak hal
yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat itu pemerintah yang tidak
mesra dengan Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut akidah Islam harus
ditolak, sementara umat Islam sendiri yang sedang “agak” oposan dengan
pemerintah mencurigai RUU tersebut sebagai upaya mengucilkan Islam.
Maka, jelas bahwa politik saling curiga dan konflik itu
melahirkan rancangan produk hukum yang juga menggambarkan kesalingcurigaan.
Akan terlihat sebaliknya pada kasus RUU tentang Peradilan Agama (yang kemudiann
menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989) yang lahir pada saat hubungan antara
pemerintah dan umat Islam secara politis saling akomodasi ini ternyata dapat
dukungan luas dari umat Islam karena hal itu seakan-akan menjadi kado mewah
bagi umat Islam. Pada saat musim akomodasi Undang-Undang pemerintah tidak ragu
untuk mengajukan RUU yang sangat didambakan oleh umat Islam.Itulah bukti, untuk
kasus Indonesia, betapa keadaan politik tertentu memberi jalan bagi munculnya
pembuatan hukum yang tertentu pula.
Dalam masalah produk hukum terutama mengenai Undang-Undang
tentang Ketentuan Pokok Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) mengakui
secara tegas Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman.Oleh sebab itu secara
formal dilihat dari aspek yuridis, konfigurasi politik Orde Baru dapat disebut
berada dalam demokratis dan produk hukumnya yang responsif.
Dari perspektif pembentukan hukum, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 dapat disebut responsif karena aspirasi seluruh masyarakat
tertampung dan cenderung akomodatif terhadap kebuthan dalam bidang
peradilan.Sedangkan dari segi implementasi perundangannya, bersifat fakultatif
dan legitimatif. Regulatif karena ia lebih banyak mengatur etika peradilan,
prosedural dan praktis operasional.
Politik akomodasi legislatif yang dilakukan pemerintah,
yaitu untuk mencari simpati dan dukungan dari umat Islam, karena pada masa itu
bersamaan dengan munculnya “Revolusi Islam Iran” (tahun 1979) yang merupakan
simbol kebangkitan Islam dunia yang dapat mempengaruhi politik Soeharto.UU ini
mengatur tiga skema berbeda untuk tiga macam perceraian, talak cerai, gugat
cerai, dan perceraian karena perzinaan. Prosedur talak cerai yang secara umum
mengikuti urutan berkenaan porsi pada peraturan pelaknsanaan yang dikeluarkan
pada 1975 untuk menerapkan UU penikahan, membiarkan suami menyajikan
penyangkalan atau talak “saya ceraikan kamu” di pengadilan, di bawah
pengawasan pengadilan.
Menurut ajaran Islam, seorang suami memiliki kekuasaan penuh
untuk menalak istrinya kapanpun dengan alasan apapun.Di bawah UU, mengikuti UU
1975, seorang suami yang ingin menalak istrinya harus menbuat permohonan
meminta pengadilan memanggil saksi untuk pengucapan talaknya.Dalam suatu
perubahan yang sederhana yang dibuat untuk lebih melindungi istri, suami harus
mengisi permohonan pada pengadilan di kabupaten dimana istrinya tinggal, dari
tempat tinggal dia sendiri, seperti diijinkan pada peraturan 1975.
Permohonan suami harus menyajikan nama, umur, tempat tinggal
kedua pihak, dan juga alasan utama talak. UU tidak menentukan apa alasan yang
dapat dierima sebagai alasan yang cukup. Pengadilan harus menilai permohonan
dalam sesi tertutup dalam 3 hari setelah terdaftar pada petugas.Dalam menjaga
kebijakan dalam rangka mencoba mengurangi frekuensi perceraian, pengadilan
ditugaskan mencoba mendamaikan pasangan pada saat pendengaran pertama. Apabila
pasangan tidak bias didmaikan dan adaa alas an yang memadai maka pengadilan
memutuskan bahwa permohonan dikabulkan.
Undang-Undang ini mengijinkan istri mengajuksn banding
terhadap putusan pengadilan yang menyatakan bahwa dasar perceraian memang ada.
Hanya setelah keputusan final melalui semua proses banding atau jatuh tempo
waktu pengisian banding pengadilan menjadwalkan pendengaran tujuan penyaksian
talak suami. Tatacara ini di tetapkan dengan surat edaran MA yang
dikeluarkan1985.
Pengaruh pembaharu Islam pada
persiapan pembuatan UU mengindikasikan pergantian yang lebih general pada
posisi Islam pembaharu vis-à-vis Negara Indonesia. Sebaliknya, pada tahun 1970
para pejabat eselon atas kementerian agama di dominasi para pembaharu, yang
paling terkenal adalah H. Munawir Sjadzali, Menteri Agama 2 periode, yang
mengawal UU ini melalui dewan legislatif yang secara resmi mengajukan proposal
pada 1980 dengan mengundang banyak kontroversi. Dulu, hakim pengadilan
tradisional dilatih di pesantren, namun sekarang pengadilan diisi para
lulusan institusi islam negeri yang dinyatakan berorientasi pembaharuan
BAB 3 Kesimpulan
Sumber hukum Islam yang utama adalah
Al Qur’an dan sunah. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan
sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang
dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Sumber-sumber hukum islam:
a. Al Qur’an merupakan sumber hukum utama umat islam.
b. Haditsmerupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an.
c. Ijtihadmerupakan sumber hukum setelahAl Qur’an dan Hadits.
Sumber-sumber hukum islam:
a. Al Qur’an merupakan sumber hukum utama umat islam.
b. Haditsmerupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an.
c. Ijtihadmerupakan sumber hukum setelahAl Qur’an dan Hadits.
Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja
Fungsi hukum islam:
a. Fungsi ibadah utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
b.Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah hukum islam sebagai hukum yang ditunjukkan
untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia.
c. Fungsi Zawajir, fungsi ini terlihat dalam pengharaman
membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum.
d. Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera.
Sejarah UU Pengadilan Agamausaha untuk mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama sejak 1961.
Dalam menjalankan tugas pengelolaan zakat adalah Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengantingkatnya.
Sejarah Hukum PerkawinanLahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan peraturan perundang– undangan yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagidengan politik hukum dan kebutuhan masa kini.
Dalam menjalankan tugas pengelolaan zakat adalah Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengantingkatnya.
Sejarah Hukum PerkawinanLahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan peraturan perundang– undangan yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagidengan politik hukum dan kebutuhan masa kini.
DAFTAR PUSTAKA
Post a Comment for "Sumber - sumber hukum islam"