Syari'at Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi
setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat
Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal
dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan
merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa
mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan
sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri,
suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau
seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an
merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan
tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama
sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit
sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali
hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan tugas makalah ini adalah
“tentang Warisan dalam Hukum Islam”. Dari rumusan masalah tersebut dapat kami
uraikan menjadi sebagai berikut:
a.
Bagaimanakah
pengertian warisan dalam hukum islam.
b.
Apa saja
bentuk, rukun dan syarat warisan.
c.
apa saja
yang harus di laksanakan sebelum pembagian warisan.
d.
apa saja
faktor-faktor yang menyebabkan mendapatkan warisan.
e.
Bagaimanakah
pembagian warisan dalam hukum islam.
f.
Apa saja
golongan dalam ahli waris.
g.
Apa saja
faktor-faktor yang menghalangi mendapatkan warisan.
h.
Bagaimana
ketentuan warisan untuk waria dan ibu hamil.
Berdasarkan rumusan di atas, maka kami angkat kedalam
makalah studi fiqih yang hal ini kami mengangkat judul “Warisan”
C. Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah ini pada hakekatnya merupakan
sesuatu yang hendak dicapai dan dapat memberikan arahan dan penjelasan
yang akan dilakukan. Berpijak pada rumusan penelitian diatas, maka tujuan
yang akan dicapai dalam makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan warisan yang sesuai dengan ketentuan hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab
adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini
tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan
hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud
..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah pewarisnya."
(al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam
hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats
menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan
itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal
secara syar'i.
·
Pengertian
Peninggalan
Pengertian peninggalan yang
dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik
berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk
di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan
dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang
yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya
pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya). Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan.
Dari sederetan hak yang harus
ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman
pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh
berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu
yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya
memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit
sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk
diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda
tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari
jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih
ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga
ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang
piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut
berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan
nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit
perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli
warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan
(harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris
selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal
ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris,
serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya.
Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut
diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar
utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris
melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak
wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini
berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi
Waqash r.a. pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta
yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga,
dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli
warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta
peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai
dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah
ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta
waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris yaitu “Sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS an-Nisaa’: 11).
Wasiat memang lebih dahulu
disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang
piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan
wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu
mengandung hikmah, diantaranya
agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya.
Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan
menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya
wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
B.
Bentuk-bentuk
Waris
1. Hak waris
secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
2. Hak waris
secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
3. Hak waris
secara tambahan.
4. waris secara pertalian rahim.
C.
Rukun Waris ada tiga:
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan
ahli warisnya berhak untuk mewarisi
harta peninggalannya.
harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk
menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
D.
Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada
tiga:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara
hakiki maupun secara hukum (misalnya
dianggap telah meninggal).
dianggap telah meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki
pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti,
termasuk jumlah bagian masing-masing.
· Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan
meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa
seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau
sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang
tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang
keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai
orang yang telah meninggal.
· Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak
kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat
benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk
mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang
atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu
peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang
lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi
harta yang mereka miliki ketika masih hidup.
· Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli
waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan
sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus
diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan
jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita
tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan
tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau
saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak
menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada
yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak
terhalang.
E.
Faktor-faktor yang menyebabkan mendapat Warisan
Faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang mendapatkan warisan ada tiga:
1. Nasab
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah, satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris).” (QS al-Ahzaab: 6)
2. Wala’
(Loyalitas budak yang telah dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya):
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw,
ia bersabda, “al-Walaa’ itu adalah kekerabatan seperti kekerabatan
senasab.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7157, Mustadrak Hakim IV: 341,
Baihaqi X: 292).
3. Nikah
Allah swt menegaskan:
“Dan bagimu (suami-isteri)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS an-Nisaa’: 12)
F.
Para ahli waris dari Pihak Laki-laki
Yang berhak menjadi ahli waris
dari kalangan lelaki ada sepuluh orang:
1
dan 2. Anak laki-laki dan puteranya dan seterusnya ke bawah.
Allah swt berfirman:
“Allah mensyari’atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS An Nisaa’: 11).
3
dan 4. Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke atas.
Allah swt berfirman:
"Dan untuk dua orang ibu
bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan." (QS An Nisaa’: 11).
Dan datuk termasuk ayah, oleh
karena itu Nabi saw bersabda:
"Saya adalah anak Abdul
Muthallib." (Muttafaqun ’alaih: Fathul
Bari VIII: 27 no: 4315, Muslim III: 1400 no: 1776, dan Tirmidzi III: 117 no:
1778).
5
dan 6. Saudara dan puteranya dan seterusnya ke bawah.
Allah swt berfirman:
"Dan saudara yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak." (QS An Nisaa’: 176).
7
dan 8. Paman dan anaknya serta seterusnya.
Nabi saw bersabda:
"Serahkanlah
bagian-bagian itu kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki
yang lebih utama (dekat kepada mayyit)."
(Muttafaqun’alaih: Fatul Bari XII: 11 no: 6732, Muslim III: 1233 no: 1615,
Tirmidzi III: 283 no: 2179 dan yang semakna dengannya diriwayatkan Abu Dawud,
‘Aunul Ma’bud VIII: 104 no: 2881, Sunan Ibnu Majah II: 915 no. 2740).
9.
Suami.
Allah swt berfirman:
"Dan bagimu
(suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu." (QS An Nisaa’: 12).
10.
Laki-laki yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak ketuanan itu milik
orang yang telah memerdekakannya."
Catatan :
Apabila dalam pembagian waris terdapat bersama anak
laki-laki berkumpul dengan anak perempuan sama-sama mengambil harta pusaka itu,
maka cara membaginya ialah laki-laki mendapat dua bagian dan perempuan satu
bagian.
G.
Perempuan-perempuan yang Mendapat Warisan
Perempuan-perempuan yang
berhak menjadi ahli waris ada tujuh:
1
dan 2. Anak perempuan dan puteri dari anak laki-laki dan seterusnya.
Firman-Nya:
"Allah mensyari’atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu." (QS An Nisaa’: 11).
3
dan 4. Ibu dan nenek.
Firman-Nya:
"Dan untuk dua orang
ibu bapak, bagi masing-masing seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
5.
Saudara perempuan.
Allah swt berfirman:
"Jika seorang meninggal
dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176).
6.
Istri.
Allah swt berfirman:
"Para isteri memperoleh
seperempat dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
7.
Perempuan yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak ketuanan itu menjadi
hak milik orang yang memerdekakannya." (Muttafaqun’alaih:
Fathul Bari I: 550 no: 456, Muslim II: 1141 no: 1504, ’Aunul Ma’bud X: 438 no:
3910, Ibnu Majah II: 842 no: 2521).
H.
Golongan
Ahli Waris
Ahli waris terbagi dua golongan, yaitu :
1.
Dzu fardlin
2.
‘Ashabah
1.
DZU FARDLIN
Dzu fardlin adalah artinya yang mempunyai pembagian
tertentu. Pembagian tertentu menurut alquran ada enam:
a.
1/2
(setengah)
b.
1/4
(seperempat)
c.
1/8
(seperdelapan)
d.
1/3
(sepertiga)
e.
2/3 (dua
pertiga)
f.
1/6
(seperenam)
Ahli waris yang mendapat bagian salah satu dari enam
macam bagian tersebut, dinamakan ahli waris dzu fardlin.
· Orang-orang
yang berhak mendapat ahli waris
Bagian-bagian yang telah
ditetapkan dalam Kitabullah Ta’ala ada enam: (pertama) separuh, (kedua)
seperempat, (ketiga) seperdelapan, (keempat) dua pertiga, (kelima)
sepertiga, dan (keenam) seperenam.
Ø . Yang dapat 1/2:
1. Suami yang
dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit tidak
meninggalkan anak. Allah swt berfirman: "Dan
kamu dapat separuh dari apa yang ditinggalkan isteri-isteri kamu, jika mereka
tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).
2.
Seorang anak perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika
(anak perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat separuh." (QS An
Nisaa’: 11).
3. Cucu
perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut ijma’
(kesepakatan) ulama’. Ibnu Mundzir berkata,
"Para ulama’ sepakat bahwa cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati
kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak
laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak
meninggalkan anak kandung laki-laki." (Al Ijma’ hal. 79)
4. dan 5. Saudara perempuan
seibu dan sebapak dan saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)
Ø Yang dapat 1/4 ; dua orang:
1. Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Firman-Nya: "Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat
seperempat dari harta yang mereka tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
2. Isteri, jika suami tidak
meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan
isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika
kamu tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).
Ø Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu):
Istri dapat seperdelapan, jika
suami meninggalkan anak. Firman-Nya: "Tetapi
jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
Ø Yang dapat 2/3; empat orang
1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
3
dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).
Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).
Ø Yang dapat 1/3; dua orang:
1. Ibu, jika ia tidak mahjub (terhalang). Firman-Nya: "Tetapi
jika si mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu
dan bapak, maka
bagi ibunya sepertiga." (QS An
Nisaa’: 11).
2. Dua saudara seibu (saudara
tiri) dan seterusnya. Firman-Nya: "Dan jika
si mayyit laki-laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan tidak (pula)
bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara
perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu, dapat
seperenam, tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu
dalam sepertiga itu." (QS An Nisaa’: 12).
Ø Yang dapat 1/6; ada tujuh orang:
1. Ibu dapat seperenam, jika
si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari seorang.
Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
2. Nenek, bila si mayyit tidak
meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, "Para ulama’ sepakat bahwa
nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan ibu." (Al Ijma’
hal. 84).
3. Seorang saudara seibu, baik
laki-laki ataupun perempuan. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki
atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu),
maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS An
Nisaa’: 12).
4. Cucu perempuan, jika si
mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:
Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, "Sungguh kalau begitu (yaitu kalau sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).
Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, "Sungguh kalau begitu (yaitu kalau sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).
5. Saudara perempuan sebapak,
jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak sebagai
pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si
mayyit meninggalkan anak perempuan.
6. Bapak dapat seperenam, jika
si mayyit meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari
mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak itu)
mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 11).
7. Datuk (kakek) dapat
seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam hal ini Ibnul Mundzir
menyatakan, "Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan datuk sama dengan
kedudukan ayah." (Al Ijma’ hal. 84).
2. PENGERTIAN 'ASHABAH
Menurut bahasa, kata ’ashabah adalah bentuk
jama’ dari kata ’aashib, seperti kata thalabah adalah bentuk
jama’ dari kata thaalib, (kata ’ashabah) yang berarti anak-anak
laki-laki seorang dan kerabatnya dari ayahnya.
Sedang yang dimaksud dalam kajian faraidh di sini
ialah orang-orang yang mendapat alokasi sisa dari harta warisan setelah ashabul
furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian) mengambil bagiannya
masing-masing. Jika ternyata harta warisan itu tidak tersisa sedikitpun, maka
orang-orang yang terkategori ’ashabah itu tidak mendapat bagian
sedikitpun, kecuali yang menjadi ’ashabah itu adalah anak laki-laki,
maka sama sekali ia tidak pernah terhalang. (Pengertian ini dikutip dari Fiqh
Sunnah III: 437).
Segenap orang yang termasuk ’ashabah berhak
juga mendapatkan harta warisan seluruhnya, bila tidak didapati seorangpun dari ashabul
furudh.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda, ”Serahkanlah
bagian-bagian itu kepada yang berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang
lebih utama (lebih dekat kepada si mayyit).”
Allah swt berfirman:
"Dan saudara laki-laki itu menjadi ahli waris
pusaka saudara perempuannya, jika saudara perempuan tersebut tidak mempunyai
anak (laki-laki)." (QS An
Nisaa’: 176).
Jadi, seluruh harta warisan harus diserahkan kepada
saudara laki-laki, ketika ia sendirian, dan kiaskanlah seluruh ’ashabah yang
lain kepadanya.
·
KLASIFIKASI 'ASHABAH
’Ashabah terbagi dua, yaitu ’ashabah sababiyah dan ’ashabah
nisbiyah.
A. ’Ashabah sababiyah ialah ’ashabah yang terjadi karena telah
memerdekakan budak.
Nabi saw bersabda:
”Hak ketuanan itu milik bagi orang memerdekakannya.”
Sabda Beliau saw lagi:
”Hak ketuanan itu adalah daging seperti daging
senasab.”
Orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak
tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali apabila yang bekas budak itu tidak
meninggalkan orang yang termasuk ’ashabah nasabiyah:
Dari Abdullah bin Syaddad dari puteri Hamzah, ia
berkata, ”Bekas budakku telah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang
puteri, maka Rasulullah saw membagi harta peninggalannya kepada kami dan kepada
puterinya, yaitu Beliau menetapkan separuh untukku dan separuhnya (lagi) untuk
dia.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2210, Ibnu Majah II: 913 no: 2734 dan
Mustadrak Hakim IV: 66).
·
Adapun ‘ashabah nasabiyah ada tiga
kelompok:
1. 'Ashabah binafsih, yaitu orang-orang yang menjadi ‘ashabah dengan
sendirinya: Mereka adalah orang-orang laki-laki yang menjadi ahli waris selain
suami dan anak dari pihak ibu.
2. ‘Ashabah bighairih, ya’ni orang-orang yang jadi ‘ashabah disebabkan
ada orang lain: Mereka adalah anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan
seibu sebapak, dan saudara perempuan sebapak. Jadi, masing-masing dari mereka
itu kalau ada saudara laki-lakinya menjadi ’ashabah mendapat separuh dari harta
warisan.
Firman-Nya:
"Dan jika mereka (yang jadi ahli waris) itu
saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagi saudara laki-laki itu bagian
dua saudara perempuan." (QS An Nisaa’: 176).
3. 'Ashabah ma’aghairih, yaitu orang-orang yang jadi ‘ashabah bersama
orang lain: Mereka adalah saudara-saudara perempuan bersama anak-anak
perempuan; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata, “Dan sisanya untuk
saudara perempuan.”
I. Pengertian Hajb dan Hirman
Menurut bahasa, kata hajb berarti man’un (cegahan),
namun yang dimaksud di sini ialah orang yang tertentu terhalang untuk
mendapatkan seluruh warisannya atau sebagiannya disebabkan ada orang lain (yang
menjadi hajib, penghalang). Adapun yang dimaksud kata hirman di
sini ialah orang yang tertentu terhalang mendapat warisannya disebabkan ada beberapa faktor yang menghalangi
seseorang mendapat harta warisan, yaitu :
1. Pembunuhan
Dari Abu Hurairah ra dari
Rasulullah saw bahwa Beliau bersabda, “Orang yang membunuh tidak boleh
menjadi ahli waris.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4436, Irwa-ul
Ghalil no: 1672, Tirmidzi II: 288 no: 2192 dan Ibnu Majah II: 883 no: 2645).
2. Berlainan
agama:
Dari Usamah bin Zaid ra bahwa
Nabi saw bersabda, “Orang muslim tidak boleh menjadi ahli waris orang
kafir dan tidak (pula) orang kafir menjadi ahli waris seorang muslim.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 50 no: 6764, Muslim III: 1233 no: 1614,
Tirmidzi III: 286 no: 2189, Ibnu Majah II: 911 no: 2729, ‘Aunul Ma’bud VIII:
120 no: 2892).
3. Perhambaan/Perbudakan
Sebab seorang hamba dan harta
bendanya adalah menjadi hak milik tuannya, sehingga kalau ada kerabatnya
memberi warisan, maka ia menjadi milik tuannya juga, bukan menjadi miliknya.
Akan tetapi soal perbudakan pada masa kini telah
dihapuskan di seluruh dunia. Jadi sebab-sebab tidak dapat mendapat warisan
hanya tinggal dua saja, yaitu karena pembunuhan dan berlainan agama
·
Pembagian Hajb
Hajb ada dua: hajb nuqshan dan kedua hajb hirman.
Adapun yang dimaksud hajb nuqshan ialah
berkurangnya bagian seorang ahli waris karena ada orang lain, dan ini terjadi
pada lima orang:
- Suami,
ia terhalang untuk mendapatkan separuh dari harta peninggalan, manakala si
mayyit meninggalkan anak, sehingga ia hanya dapat seperempat.
- Isteri,
ia terhalang untuk mendapat seperempat, bila si mayyit meninggalkan anak,
sehingga ia hanya dapat seperdelapan.
- Ibu,
ia terhalang untuk mendapatkan bagian sepertiga, jika si mayyit
meninggalkan anak dan cucu yang berhak menjadi ahli waris, sehingga ia
hanya mendapat seperenam.
- Cucu
perempuan.
- Saudara
perempuan sebapak.
Adapun hajb hirman yaitu seseorang tidak boleh
mendapatkan warisan sedikitpun karena ada orang lain, misalnya terhalangnya
saudara laki-laki untuk mendapatkan warisan bila si mayyit meninggalkan anak
laki-laki, dan masalah ini (hajb hirman) tidak masuk padanya warisan
dari enam ahli waris, meskipun mungkin saja terjadi pada keenam orang ini hajb
nuqshan. Mereka adalah:
1 dan 2. Bapak dan Ibu.
3 dan 4. Anak laki-laki dan anak perempuan.
5 dan 6. Suami atau isteri.
Dan pembahasan hajb hirman ini mengenai selain
enam orang tersebut dari kalangan orang-orang yang berhak jadi ahli waris.
Hajb hirman berpijak pada dua asas:
- Bahwa
setiap orang yang menisbatkan dirinya kepada mayyit dengan perantara orang
lain, maka ia tidak berhak jadi ahli waris manakala orang lain tersebut
masih hidup. Misalnya cucu laki-laki dari anak laki-laki, ia tidak bisa
menjadi ahli waris bila bapaknya masih hidup, kecuali putera-puteri ibu,
mereka tetap sah menjadi ahli waris bersama ibunya, padahal mereka
menisbatkan dirinya kepada mayyit dengan perantara ibunya.
- Yang
lebih dekat harus lebih diutamakan daripada yang jauh. Misalnya anak
laki-laki menjadi hajib (penghalang) bagi keponakan laki-lakinya dari
saudara laki-lakinya. Jika mereka sederajat, maka yang harus diutamakan
adalah yang lebih kuat kekerabatannya, misalnya saudara laki-laki sebapak
seibu menjadi hajib (penghalang) bagi saudara laki-laki sebapak.
J.
Masalah
Umariyyatan
Pada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian
sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila ia mewarisi secara
bersamaan dengan bapak --seperti telah saya jelaskan--- berdasarkan pemahaman
bagian ayat (artinya) "jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga".
Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang
muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini.
Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan
disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini
bermakna 'dua bintang cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur.
Dalam kasus ini, ibu hanya diberi sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang
ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian suami atau istri.
K. Al-‘aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna
azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya." (an-Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa
irtafa'a yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti
'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti
'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah
bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang
dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam
keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya
sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada --
meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat
berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok
masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal
ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya
memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang
lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau
bertambah.
L. Ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna
'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya
Allah, palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok
masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd
merupakan kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para
ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta
warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai
'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada
para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
M. Contoh Masalah
Soal 1 :
Seseorang mati meninggalkan seorang anak laki-laki,
ibu dan seorang isteri, berapa bagiankah untuk masing-masing?( misalnya ada 24
bagian)
Jawab : Ibu
mendapat 1/6 dari harta pusaka.
Isteri mendapat 1/8 dari harta
pusaka.
Anak laki-laki mendapat
sisa(ashabah)
Asal masalah : 24
Ibu mengambil 1/6 dari 24.................= 4 bagian
Isteri mendapat 1/8 dari 24................= 3 bagian
Anak laki-laki mendapat sisa dari 24
Setelah diambil untuk ibu dan isteri..= 17 bagian
Jumlah= 24 bagian
Soal 2 :
Si A mati meninggalkan suami, dua orang saudara
perempuan dan berapakah bagian masing-masing?(misalnya 6 bagian)
Jawab : Suami
mendapat 1/2 dari harta pusaka.
2 orang saudara perempuan mendapat
2/3 dari harta pusaka.
Asal masalah : 6
Suami mendapat 1/2 dari 6............................= 3 bagian
2 orang
saudara perempuan dapat 2/3 dari 6..= 4
bagian
Jumlah
= 7 bagian
Disini ditambah kelipatan persekutuan yang kecil dari
asal masalah 6 menjadi 7, supaya masing-masing cukup (namanya ‘aul)
Kalau kita umpamakan simati meninggalkan uang sejumlah
Rp. 2.800,- maka cara membaginya sebagai berikut :
Suami mendapat Rp. 2.800,- X 3..........= Rp.
1.200,-
7
2 orang saudara perempuan mendapat Rp. 2.800,-
X 4.........= Rp. 1.600,-
7 Jumlah= Rp. 2.800,-
N. Penetapan
Warisan bagi Waria atau Banci/ Sebaliknya
Hadits Darimi 2842
أَخْبَرَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى أَنَّهُ
سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ يُحَدِّثُ عَنْ عَلِيٍّ فِي الرَّجُلِ يَكُونُ لَهُ
مَا لِلرَّجُلِ وَمَا لِلْمَرْأَةِ مِنْ أَيِّهِمَا يُوَرَّثُ فَقَالَ مِنْ
أَيِّهِمَا بَالَ
Dilihat dari alat kelaminnya yang mengeluarkan kencing (dari situlah ditetapkan statusnya).
Hadits Darimi 2843
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ مُغِيرَةَ عَنْ
شِبَاكٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَلِيٍّ فِي الْخُنْثَى قَالَ يُوَرَّثُ مِنْ
قِبَلِ مَبَالِهِ
Ia diberi warisan berdasarkan
tempat keluarnya air kencing.
Hadits Darimi 2844
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو هَانِئٍ قَالَ سُئِلَ عَامِرٌ عَنْ مَوْلُودٍ
وُلِدَ وَلَيْسَ بِذَكَرٍ وَلَا أُنْثَى لَيْسَ لَهُ مَا لِلذَّكَرِ وَلَيْسَ لَهُ
مَا لِلْأُنْثَى يُخْرِجُ مِنْ سُرَّتِهِ كَهَيْئَةِ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ
سُئِلَ عَنْ مِيرَاثِهِ فَقَالَ نِصْفُ حَظِّ الذَّكَرِ وَنِصْفُ حَظِّ الْأُنْثَى
(Bagian warisannya adalah)
setengah dari bagian laki-laki & setengah dari bagian perempuan.
O. Hak Waris
Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua
persyaratan:
- Janin tersebut diketahui
secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat.
- Bayi dalam keadaan hidup
ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak
yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup.
Dan keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian
pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini
berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua
tahun sekalipun berada dalam falkah mighzal."
Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan
Rasulullah saw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan
salah satu pendapat Imam Ahmad.
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam
kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab
Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam
keadaan nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang
baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya,
atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab
Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam
rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup
menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan
hewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan
demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian
mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR
Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau
ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar
dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris,
dan ia dianggap tidak ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Harta warisan adalah harta yang
dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau
harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang
dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus
diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya.
Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan
dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak
orang lain.
Pentingnya
pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya
sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan
menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih
hidup. Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al
hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan
seadil-adilnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam
lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
Post a Comment for "Syari'at Islam"